Sabtu, 18 Februari 2017

Apa Mungkin Istriku Dewi Sri?

Ini cerpen pertama saya yang di muat tahun ini oleh tatkala.co. silahkan di lihat sendiri ya kawan. di bawah saya sertakan alamatnya, tinggal klik:

Apa Mungkin Istriku Dewi Sri?

Minggu, 12 Februari 2017

Mata Pisau, Sapardi Djoko Damono

Menemukan buku tua berdebu dengan gambar sampul yang tidak menarik, di tambah kertasnya juga sudah menguning, barangkali karena usia buku sudah terlampau uzur. Namun di sudut buku tertulis nama penyair besar. Menurut saya itu serupa menemukan gadis cantik, pintar, baik, dan yang paling penting mau di ajak berkencan. Barangkali seperti itulah rasanya.

Pada suatu hari—saya lupa tepatnya hari apa. Saya berkunjung ke perpustakaan kota Lamongan. Pagi itu pengunjung tidak terlalu banyak, meja-meja baca banyak yang kosong dan seperti biasanya perpustakaan menjadi hening. Dan saya suka itu. Waktu itu saya sudah berada di rak paling pojok di sebelah barat daya. Disitulah buku-buku sastra berdiam dan merana karena tidak ada pembaca. Saat itu saya iseng mengubrak-abrik buku-buku yang di terbitkan oleh balai pustaka sekitar tahun 80-an. Yang kebanyakan sampulnya sudah kusam.

Nama-nama yang mendominasi adalah Marah Rusli, Abdoel Moeis, NH Dini, dan kawan-kawannya. Itu saya lakukan setelah saya bosan dengan rak atas yang di dominasi penulis-penulis kontemporer. Di situ ada Dee Lestari, dengan Petir. Tere Liye, dengan Ayahku Bukan Pembohong, dan seorang lagi yang datang dari India sekaligus peraih Man Booker Internasional Prize, Aravind Adiga dan The White Tiger nya. Mereka luar biasa saya sudah membaca ketiganya. Itulah kenapa saya beralih ke rak bagian bawah, di mana buku-buku berdebu dan kusam berdiam. Nama-nama asing mulai saya baca, dan saya menggeleng siapa mereka?

Jari jemari saya tidak berhenti memilih dan memilah buku, dan pada akhirnya saya tidak menyangka telah menemukan si perempuan cantik dan amat menggoda. Nama Sapardi Djoko Damono dengan Mata Pisau, buku kumpulan puisinya. Bukan main rasa senang saya menemukan Bapak Sapardi dan sehimpun sajak-sajaknya. Saya tidak mengira Bapak satu ini juga berdiam di rak sastra. Tidak pikir panjang saya langsung mencomotnya dan memasukkan dalam daftar pinjam saya.

Oh, iya maaf jika sejak tadi saya hanya bercerita tidak jelas tentang sepotong kejadian. Jika mendengar frasa barusan, sepotong kejadian, saja jadi teringat dengan buku kumpulan puisi yang akan dan sedang kita bicarakan ini. Saya merasa kebanyakan dari puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dalam Mata Pisau adalah sepotong kejadian. Yang mana terkadang absurd, terasa hening, sunyi, menyenangkan, dan barangkali amat melankolis. Namun sekali lagi semuanya seolah tampak sederhana di tulis dengan kata-kata yang sederhana, dan sering kita jumpai di sekitar kita namun tampak mengesankan. Metafora dan analogi nya pas. Tidak kurang tidak lebih.

Membaca sajak itu satu-persatu tidak membuat saya merasa ingin segera menyelesaikannya, malah sebaliknya. Persis seperti ketika saya membaca buku-buku bagus lainnya. Saya selalu berharap buku itu tidak lekas habis, dan kalau bisa halamannya dapat bertambah. Mungkin terdengar agak ngawur, tapi ya begitulah saya ketika berjumpa dengan buku bagus.

Di sampul belakangnya saya melihat foto Sapardi di usia mudanya. Mengesankan dan acak-acakan, sebagaimana mahasiswa sastra pada umumnya.

Mungkin puisi bagus memang seperti itu di tulis dengan sederhana dan seolah merekam sepotong kejadian yang tampak mengesankan. Puisi yang paling saya suka dalam buku itu adalah, Berjalan Kebarat Waktu Pagi Hari. Tempo hari saya sempat menonton di You Tube, Sapardi Djoko Damono, di samping sebuah tanaman sedang membacakannya dengan syahdu. Dan itu membuat hati dan pikiran saya kembali nyaman. Begitulah puisi yang saya tahu.

Senin, 06 Februari 2017

Dan Brown, Lisa Rogak

Ia memulai kariernya dari seorang penulis lagu, kemudian merambat menjadi penulis buku komedi, yang merupakan kontrak dari sebuah penerbit. Hingga akhirnya ia memilih untuk focus dalam dunia kepenulisan. Menjadi penulis novel purna waktu. Itulah Dan Brown, seorang penulis novel yang penjualan bukunya mengalahkan penjualan al kitab.

Dari buku biografi Dan Brown yang di tulis oleh Lisa Rogak, menceritakan banyak tentang kisah hidup Sang Novelis.

Saya tidak tahu dari mana mau mulai menceritakan kisah hidupnya, saya sedikit bingung sebab seluruh tahap yang di lalui Dan Brown untuk menulis novel memang sangat menarik untuk di simak.

Essai Pertama Dan Brown saat di bangku kuliah mendapat koreksi besar-besaran dari dosennya, 90% tulisan Brown di pangkas karena mengandung kata sifat. Dan mulai dari situ ia mendapatkan pernyataan, "Lebih Sederhana lebih baik.", Begitu ujar Mr. Heath, yang memberi nilai C-minus pada essainya.

Memang pada dasarnya Dan Brown memiliki kecintaan pada menulis fiksi dan menulis lagu. Setelah ia lulus dari Phillips Exeter Academy ia berkarier dulu dalam dunia musik sebagai penulis lagu sebelum akhirnya ia menemukan Blythe, seorang perempuan yang usianya 12 tahun lebih tua dari Brown, perempuan inilah yang nantinya akan menjadi istri Dan Brown, sekaligus menjadi perempuan yang selalu mendukung dan membantunya dalam menyelesaikan novel-novelnya.

Dari buku ini saya suka konsistensi Brown dalam menulis, ia selalu bangun pagi jam 4 untuk menulis. Katanya itu adalah waktu dimana kreativitasnya memuncak dan sekaligus waktu luang di mana ia tidak memikirkan kesibukan-kesibukan lainnya. Sebelumnya memang Brown adalah seorang guru bahasa Inggris di suatu sekolah.

Yang paling saya suka dari buku yang di tulis Lisa Rogak tentang Dan Brown adalah:

"Brown tahu sebagian novelis menulis secara spontan, memulainya dengan ide atau gambaran, lalu menulis untuk mencari tahu kemana semua itu mengarah. Dalam karya literatur bertempo lamabat dan ketegangan bukan bagian penting dalam plot, Brown bisa memahaminya. Namun, jenis cerita yang ingin di tulisnya bergantung pada pembentukan banyak ketegangan, menjaga agar para pembaca tetap menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, dan memasukkan banyak kejutan—dengan kata lain, novel yang membuat penasaran agar terus dibaca. Menurut Brown, hal seperti itu tidak terjadi begitu saja, kau harus merencanakannya."

Kau harus merencanakannya, saya setuju jika sekaligus baru mengerti jika memang kebanyakan penulis novel mulai menulis dengan ide dan gambaran saja, hingga akhirnya ia menulis untuk mencari tahu, mau kemana tulisan itu. Sementara Dan Brown bekerja dengan merencanakan. Barangkali itu semacam membuat kerangka cerita dulu sebelum menulis cerita. Beberapa penulis ada yang melakukannya dan beberapa ada yang tidak. Jujur saya adalah penulis yang tidak membuat kerangka cerita sebelum menulis, namun saya juga pernah membuat kerangka cerita dalam menulis cerita. Kadang saya berpikir saya terlalu naif, atau barangkali terlalu malas untuk memperbaiki cerita.

Dari buku ini, kurang lebih saya mengerti tentang kehidupan seorang novelis yang akhirnya buku pertama dan kedua cetak ulang setelah buku selanjutnya menuai kesuksesan. Mungkin seperti itulah hukum pembelian dalam dunia penjuan buku. Bagaimana rasanya di gugat dan diserang ketika bukumu sukses. Dan bagaimana seorang penulis ingin menyendiri dan menetap di daerah yang asing karena ingin menyelesaikan buku selanjutnya. Dan dari sini juga saya tahu jika Dan Brown pada usia 5 tahun telah menulis buku yang kemudian ia beri judul, The Giraffe, the pig, and the Pants on Fire.

Minggu, 29 Januari 2017

Pengaruh Tempat dalam Sebuah Cerita

Urusan tempat dalam sebuah cerpen atau novel ternyata bisa menjadi urusan yang sangat kompleks. Saya baru menyadarinya beberapa saat yang lalu setelah Eka Kurniawan membahasnya, di sebuah artikelnya yang di muat jurnal On/Off. Ketika selesai membaca itu, barulah saya merenung dan akhirnya tersadar.

Latar tempat memang membuat beberapa cerita terlihat menarik dan sekaligus memberikan kesan tersendiri. Saya teringat cerpen Aksara Amananunna, Rio Johan. Cerpen itu membuat saya tertarik dari awal hingga akhir. Pasalnya dalam cerpen itu tempat-tempat yang di gunakan dalam setiap adegan ceritanya adalah tempat rekaannya sendiri. Seolah-olah cerita itu memang terjadi di suatu tempat di dunia ini, namun entah di mana cerita itu berlangsung. Pada adegan pertama cerita di mulai ketika Amananunna nampak kebingungan dengan telinga dan mulutnya yang tidak bekerja sebagaimana orang normal, itu terjadi di ziggurat raja Nimrod.

Selanjutnya dari ziggurat raja Nimrod, Amananunna berkelana ke tempat-tempat jauh, di padang pasir, dan semacamnya. Hal itulah yang membuat saya secara tidak sadar telah membayangkan tempat yang gersang, bar-bar, dan liar. Sehingga yang terjadi pada Amananunna pun serupa sekali waktu ia harus menerima perlakuan tidak baik, sekali waktu ia juga harus memakan kadal dan rumput karena tempat itu terlalu gersang. Mungkin seperti inilah peran tempat dalam pengaruh suatu adegan. Dalam suatu wawancara Rio Johan menciptakan tempat rekaannnya berasal dari game-game yang sering ia mainkan.

Sementara dalam novel Lelaki Harimau, Eka Kurniawan. Saya membayangkan perkampungan yang tempo dulu, dan masih di penuhi oleh benda-benda yang hanya ada pada jaman dulu, semisal layar tancap, sirkus keliling, surat cinta, dan tentunya mitos-mitos yang mempengaruhi cerita. Berhenti di mitos, barangkali inilah yang membuat cerita tampak menarik. Dan perlu di sadari tiap daerah punya mitosnya masing-masing, atau boleh di sebut juga sejarahnya masing-masing, semisal legenda, kebudayaan, dan hal-hal kecil yang perlu di gali untuk membuat pembaca percaya bahwa cerita itu memang benar-benar terjadi di tempat tersebut.

Hal inilah yang sekali waktu membuat saya bertanya-tanya apa saja hal-hal menarik yang di miliki kota saya dan tidak di miliki oleh kota-kota lain. Di novel Tempat Paling Sunyi, Arafat Nur telah memperkenalkan Lamlhok dengan segala konflik peperangannya. Dalam Metafora Padma, Bernard Batubara sedikit banyak telah memperkenalkan Pontianak dengan segala konflik antar suku yang telah terjadi di sana, meskipun dalam beberapa cerita, Bernard Batubara menginisialkan suku-suku tersebut.

Sebagaimana Bernard Batubara juga telah mengatakan yang intinya, penulis Indonesia harus menulis tentang Indonesia. Dan ia telah melakukannya dalam buku-bukunya. Mungkin ini PR bagi saya, untuk menulis Lamongan sebagai latar cerita tempat yang menarik. Barangkali ketika saya membacanya ulang, Lamongan akan tampak menarik dan keren, seperti Manhattan, Padang, Bone, Paris, New Hamspire, Shinjuku, Lamlhok, Pangandaran dan beberapa kota yang telah di kenalkan penulisnya pada dunia.

Sabtu, 28 Januari 2017

Perjalanan dan Pertumbuhan Saya

Dari mana datangnya anak kecil ingusan seperti saya yang dengan lancang berani menulis buku yang saya sebut dengan percaya diri, itu sebuah novel. Pertamakali saya menulis, saya adalah anak kecil yang tak mempunyai rasa takut dan terlalu banyak memiliki keberanian.

Andrea Hirata lah yang mengajari saya tentang menulis itu, hingga akhirnya saya menulis novel saya sendiri. Tanpa rasa takut dan menganggap gampang semuanya, tidak tanggung-tanggung novel saya itu memiliki 338 halaman. Itu cukup tebal dan benar-benar melelahkan untuk di baca. Seorang teman mengatakan pada saya bahwa rasa tulisannya, rasa Andrea Hirata.

Wajar saja, saat itu saya baru mengenal Bang Andrea, sebagai penulis paling top dan tak ada duanya. Sehingga tak tanggung-tanggung saya menghabiskan ke delapan bukunya selama proses menulis novel saya yang pertama itu, barangkali ini semacam pencarian referensi menulis novel. Sehingga akhirnya sedikit banyak, di sudut-sudut novel saya, aroma atau gaya Bang Andrea yang khas nampak di sana sini. Barulah di kemudian hari, saya mengerti kebanyakan penulis pemula melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan, dan tekhik itu di sebut banchmarking. Jika tidak salah itu istilahnya, maaf saya agak lupa-lupa ingat.

Kemudian selama perjalanan menulis saya terus membaca dan membaca, kemudian mengenal A. Fuadi, Tere Liye, sedikit berbelok pada buku-buku Non fiksi saya berkenalan dengan Agus Mustofa dan ilmu-ilmu tasawufnya yang membuat saya kagum dan sedikit banyak mengerti tentang agama, masih dalam ranah agama saya berkenalan dengan Ahmad Rifa'i Rifan, M Husnaini, Irvan Syaifullah yang ternyata dan patut saya syukuri adalah orang-orang Lamongan. Dari merekalah saya mengenal lebih dalam tentang agama saya sendiri. Dan melalui Pak M Husnaini saya dipersilahkan masuk dalam grup kepenulisan SPN yang beranggotakan orang-orang besar beliau adalah Pak Hernowo, Pak Much. Khoiri, Pak Ngainun Naim, Prof. Muhammad Chirzin, Mas Haidar Musyafa. Dan orang-orang hebat yang jago dalam kepenulisan di genre-nya masing-masing.

Di grup SPN itulah beberapa tulisan saya termuat dan di terbitkan dalam buku-buku antologi. Tidak berhenti di situ saya, menjamah majalah dan koran-koran. Disanalah saya mulai merasa kecil, tidak berarti, bukan siapa-siapa, tidak tahu apa-apa, tapi terkagum-kagum pada nama-nama hebat yang berhasil mencantumkan namanya di sebuah koran. Itulah yang membuat saya bertahan hingga kini. Dan mengenal nama-nama besar seperti A.S Laksana, dan Murjangkung-nya yang berisi cerpen-cerpen hebat yang pada waktu itu membuat kepala saya puyeng tidak bisa mencerna itu cerita apa. Lalu sekaligus berkenalan dengan Bernard Batubara, dengan cerpen-cerpen nya yang saya rasa bernuansa kontemporer, Fantasi, surealis, seperti yang berada di bukunya, Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri, juga Metafora Padma. dan membuat saya pada akhirnya harus belajar banyak darinya tentang cara-cara menulis fiksi dan ulasan-ulasan buku.

Saya rasa disini saya harus berhenti sejenak dan mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya pada bang Bara. Yang telah membuka pintu dan mengenalkan saya pada penulis-penulis lainnya. Seperti M. Aan Mansyur, Faisal Oddang, Eka Kurniawan, Etgar Keret, Haruki Murakami, Budi Darma, Mahfud Ikhwan, dan masih banyak lagi. Namun setelah mengetahui nama-nama besar itu, pada akhirnya akan membuat saya menatap diri saya sendiri dan bertanya, sudah pantaskah nama saya di tulis diantara nama-nama besar itu?

Lalu tanpa menjawab pertanyaan konyol itu, pada akhirnya saya akan kembali membaca buku-buku, istirahat sejenak, membaca buku-buku lagi, lalu menulis agar kelak bisa seperti mereka. Dan entah mengapa saya terlalu ambisius ingin seperti mereka. Dan pada akhirnya, yang paling akhir saya akan berdoa semoga Allah meridhoi keinginan saya ini.

Rabu, 25 Januari 2017

Menjadi Salah Satu yang Mustahil


Catatan ini saya tulis ketika saya benar-benar tak mempunyai jawaban atas segala apa yang ada didalam kepala saya. Saya tidak tahu mana yang harus saya dulukan terlebih dahulu, apakah keinginan saya untuk menjadi penulis atau sebuah permintaan bantuan dari seorang teman, agar saya menjadi ketua sebuah organisasi kampus.

Ketika saya membaca biografi dari seorang Dan Brown, untuk menjadi seorang novelis ternyata butuh pengorbanan yang luar biasa. Dan Brown adalah seorang penulis novel yang penjualan bukunya mengalahkan penjualan Al Kitab. Sebenarnya saya sendiri belum pernah membaca satupun dari novelnya. Hanya saja saya pernah membaca ulasan dari seorang penulis tentang bukunya yang berjudul The Davinci Code, ia mengatakan itu adalah buku kedua yang mampu membawanya terhanyut ke dalam cerita novel, tidak seperti novel-novel yang biasa ia baca. Sebagiamana penulis novel, saya juga merasakannya. Setiap kali membaca novel-novel bagus saya biasanya akan membacanya secara jeli, memperhatikan tanda baca, memperhatikan bagaimana penulis memainkan analogi dan metafora, konflik cerita, Point Of View, narrator atau siapa yang menjadi pengkisah dalam cerita, dan tentunya masih banyak lagi yang bisa di perhatikan secara jeli. Namun tanpa di sadari atau tidak cara membaca seperti ini benar-benar sangat melelahkan. Dan membuat mata saya sesekali buka tutup dan secara keseluruhan saya kurang menikmati ceritanya. Namun kata seorang penulis yang mengulas The Davinci Code. Buku itu telah melupakan segalanya, membuatnya benar-benar hanyut dalam cerita yang di tulis Dan Brown.

Saking luar biasanya novel tersebut. Si penulis tadi menyebutkan bahwa novel itu adalah novel yang selalu ia bawa kemana-mana dan membuatnya selalu penasaran dengan kelanjutan cerita. Dan dalam buku biografi Dan Brown yang di tulis oleh Lisa Rogak, selama penulisan bukunya Dan Brown mengorbankan banyak hal; meninggalakan pekerjaannya sebagai guru di sekolah; meninggalkan kariernya dalam dunia music sebagai seorang penulis lagu. Seperti itulah Dan Brown bekerja untuk menulis novel, sehingga yang terjadi novelnya membuat seorang penulis lupa akan tugas mengamati dan benar-benar hanyut dalam cerita. Itu artinya untuk menulis novel yang bagus dan berkualitas kita harus memberikan focus tersendiri terhadap bidang yang ingin di tekuni. Meski harus mengorbankan banyak, tapi untuk hasil yang memuaskan segala pengorbanan sepertinya harus di lakukan. Sebagaiman pepatah mengatakan, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, barangkali seperti itu.

Sementara andaikata kita memiliki pekerjaan yang luar biasa sibuknya atau luar biasa repotnya apa mungkin kita akan dapat membuat novel yang bagus, semacam novel The Davinci Code. Sepertinya saya lupa sesuatu. Dalam buku biografi yang di tulis Lisa Rogak tadi, Dan mengatakan selama proses pengerjaan novelnya ia selalu bangun jam 4 pagi untuk menulis novel, menurutnya itu adalah waktu dimana proses kreatif untuk menulis sedang melimpah. Sementara di luar jam itu banyak kesibukan yang harus Dan kerjakan. Termasuk riset untuk novel yang tengah atau akan ia kerjakan.

Barangkali ini adalah sebuah tantangan, sebagai seorang penulis tidak seharusnya kita banyak mengeluh tentang kesibukan, tentang lingkungan yang kurang kondusif, tentang jurusan kuliah yang salah atau perkara-perkara lain yang seenaknya kita buat-buat sebagai alasan kenapa kita tidak bisa menulis secara produktif. Dalam agama saya mengajarkan Allah menguji suatu hambanya tidak melebihi batas kemampuan hambanya. Bukankah itu sudah jelas bahwa tidak ada alasan untuk mengeluh. Sebagaimana kita tahu, orang akan menganggap kita hebat ketika beban yang kita tanggung terlalu berat dan cenderung mustahil. seorang perawat tidak mungkin menulis novel karena bukan dari jurusan sastra. Seorang yang bukan siapa-siapa tidak mungkin menjadi siapa-siapa. Seorang yang miskin tidak mungkin sekolah tinggi-tinggi. Seorang perempuan tidak mungkin menjadi sopir truck. Seperti itulah barangkali apa yang di katakana mustahil bagi kebanyakan orang. Dan coba bayangkan bagaimana jika kau adalah seseorang yang mampu mematahkan kata mustahil itu dan menunjukkan pada mereka bahwa kau adalah orang yang mampu menghancurkan kata mustahil tadi.

Oleh karena itu saya rasa tidak ada salahnya untuk membantu serang teman dan tetap membawa apa yang menjadi keinginan kita, meski jalan untuk mencapai keinginan itu agak terasa berat, jika kita pikirkan secara rasional. Namun perlu di catat kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Semuanya adalah rahasia ilahi, Allah selalu ada untuk hamba-hambanya yang meminta pertolongan.[]


Minggu, 22 Januari 2017

Kumpulan Puisi: Main Ayunan dan Bunga Krisan

Ini adalah puisi-puisi saya yang pertama kali di muat di tahun 2017. Sebagai catatan puisi-puisi ini saya tulis ketika saya sedang menjalani praktek klinik di Puskesmas Kembangbahu. Setidaknya dengan ini saya pernah menulis puisi di Puskesmas Kecamatan. Langsung saja di bawah saya sertakan alamat pusi-puisi saya. Sila di baca dan selamat kehilangan.

Main Ayunan dan Bunga Krisan: Puisi Fatah Anshori