Selasa, 27 Desember 2016

Hap!, Andi Gunawan

Hap!

Kau patahkan hatiku berkali-kali
dan aku tak mengapa

hatiku ekor cicak.

2013

Andi Gunawan adalah seorang comica yang menulis puisi, atau barangkali bisa juga dikatakan seorang penulis puisi yang comica. Itulah Andi Gunawan, sebenarnya ia tidak hanya penulis puisi saja ia juga menulis beberapa buku lainnya seperti kumpulan cerpen.

Membaca Hap! Saya seolah terjun dalam keresahan-keresahan Andi yang di gambarkan dengan amat menawan. Saya merasa buku ini seperti cemilan namun penuh dengan gizi. Barangkali jika ini sebuah snack atau makanan ringan, ia adalah snack dengan bungkus yang sederhana namun rasa dan gizinya kelewat muluk-muluk.

Sebenarnya saya juga curiga, seluruh puisi yang di tulis Andi dalam Hap! ini sedikit banyak telah keracunan punchline Andi saat sedang open mic. Sebab ketika membaca puisi-puisinya saya sering ketawa-ketawa sendiri mirip orang miring. Rasanya kurang lebih sama ketika saya membaca puisi-puisi Joko Pinurbo, melompat-lompat, liar, menggemaskan, dan diakhir cerita selalu membuat saya tertawa sendiri.

Kata-kata yang Andi gunakan dalam merangkai puisi seolah adalah kata-kata yang jatuh dari langit dan selalu enak di baca, lembut, lunak dan menawan. Saya merasa metafora dan analogi dalam puisi-puisi Andi sangat kaya meskipun terkesan sederhana. Bahkan saya sempat berpikir  barangkali inilah kehebatan Andi ia mampu menyelipkan sesuatu yang kompleks di dalam perihal yang sederhana.

Sebenarnya saya tidak mengerti banyak tentang konteks-konteks puisi. Saya hanya orang awam yang tiba-tiba mencintai puisi dengan mencoba menulis puisi dan membaca banyak puisi dari buku-buku atau koran-koran. Dan selama itu saya menganggap anatara puisi, cerpen dan novel memiliki garis persamaan, yakni narator. Narator adalah orang yang menuturkan dari mana cerita itu disampaikan, sehingga kesan subjektivitasnya akan nampak sekali. Saya rasa ini juga yang membedakan bagaimana kita mengenali tulisan seseorang, atau biasa kita sebut karakter penulis. Seperti halnya suara dalam menyanyi. Menulis pun sama, Andrea Hirata dengan karakter melayunya, M. Aan Mansyur dengan karakter puitisnya, atau Joko Pinurbo dengan kesan kocaknya.

Di dalam puisi-puisinya Andi Gunawan seolah menulis dari sudut pandangnya sendiri sehingga saat membacanya seringkali kita tidak akan mengerti apa yang dia maksud. Mungkin inilah mengapa puisi sering disebut-sebut sebagai karya yang subjektif, sesuka hati. Sehingga seringkali kita tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak di utarakan penulis dalam puisinya. Mungkin hal ini pula yang mendasari Sapardi Djoko Damono menulis buku Apresiasi Puisi Bilang Begini Maksudnya Begitu.

Salah satu yang membuat saya tertarik dan antusias dalam membaca buku puisi Hap! adalah karena ada nama M Aan Mansyur sebagai penyunting puisi-puisi Andi Gunawan. Buku ini cetak pada Mei 2014. Sementara saya baru mengenal nama M Aan Mansyur pada tahun 2016. Ini artinya untuk menjadi penulis sekelas mereka waktu yang kita butuhkan tidak sedikit dan sebentar.

Catatan ini saya buat kurang lebih hanya sebagai dokumentasi membaca saya. Seperti halnya buku-buku yang saya ulas dua bulan terakhir. Bagi teman-teman yang mencintai puisi atau belajar menulis puisi mungkin bisa membaca buku Andi Gunawan ini. Keseluruhan dari puisi-puisi Andi saya suka. Namun jika disuruh memilih satu judul. Saya akan pilih puisi dengan judul: Dua Stoples Kenangan.

Sabtu, 17 Desember 2016

Belajar dari Tokoh Besar

Setelah mendengar sambutan bapak Dr. K.H. M. Saad Ibrahim (ketua PWM Jatim) dalam acara pembukaan musywil HW ke 4 yang tepatnya berlangsung di aula UNMUH Ponorogo, saya merasa diri saya bukanlah apa-apa. Bahkan di satu sudut saya benar-benar merasa malu.

Ketika itu saya sedang duduk di tengah-tengah puluhan peserta musywil yang juga sama-sama menyimak Pak Saad memberi sambutan. Atau barangkali lebih tepat beliau sedang memberikan kuliah umum pada peserta musywil. Di podium itu beliau berbicara banyak tentang segala permasalahan yang sedang di hadapi Muhammadiyah dan bebeberapa hal yang saya pikir itu merupakan perkara fundamental untuk sebuah bangsa yang berkemajuan.

Saat itulah saya merasa saya harus benar-benar banyak belajar, banyak menyimak, bersikap kritis terhadap suatu hal, dan tentunya tidak pernah punya rasa malas untuk terus membaca buku-buku. Dan tentu saja tetap menulis, sebab saya merasa menulis adalah salah satu cara kita untuk beretorika. Bagaimana menyusun kata-kata agar setiap apa yang kita sampaikan dapat dimengerti oleh orang yang menyimaknya.

Itulah yang saya kagumi dari Pak Saad ketika beliau menyampaikan sambutannya pada pagi tadi (17/12). Beliau menyampaikan dengan begitu lancar, tenang dan tidak tergesa-gesa. Sehingga orang bodoh seperti saya sedikit banyak bisa menangkap apa yang di sampaikan beliau.

Saya merasa keahlian seperti itu tidak serta merta didapat. Tentunya mereka melalui proses yang sangat panjang belajar, belajar dan terus mencoba. Seperti yang di ungkapkan Malcom Gladwel dalam bukunya The Outlier yang juga pernah di ungkapkan Eka Kurniawan dalam jurnalnya, bahwa seseorang akan mendapat keahlian ketika dia mau menyisihkan waktunya selama tiga jam dalam sehari, selama sepuluh tahun. Barulah keahlian itu bisa didapatkan.

Jika teman-teman bertanya apa isi dari sambutan Pak Saad barusan. Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikannya disini atau dimanapun sebab keterbatasan yang saya miliki ini.

Selasa, 13 Desember 2016

Puisi-Puisi Fatah Anshori: Produk yang Kamu Ciptakan dan Wariskan

Berikut adalah puisi-puisi saya yang dimuat di Nusantaranews.co. bagi teman-teman yang ingin membacanya silahkan tinggal klik tulisan berikut:

Produk yang Kamu Ciptakan dan Wariskan

Minggu, 11 Desember 2016

Norwegian Wood, Haruki Murakami

Ini adalah pertama kalinya saya membaca Murakami. Novel Norwegian Wood, Haruki Murakami ini selesai saya baca dalam kurun waktu sekitar empat minggu atau satu bulan. Sastrawan asal Jepang ini benar-benar membuat saya berpikir lebih dalam tentang beberapa hal dalam penulisan novel.

Pertama penokohan dalam sebuah cerita. Saya merasa Norwegian Wood ini di tulis dengan memikirkan hal-hal itu. Psikologis seorang tokoh yang amat kuat. Seperti ini misalnya, seorang anak kecil yang tiba-tiba ditinggal ibunya. Kemungkinan-kemungkinan apa yang mungkin terjadi pada anak kecil itu? Boleh jadi anak itu meronta, menangis, dan ketakutan karena tidak biasa dengan kesendirian. Dalam novel ini Murakami memberi gambaran yang jelas tentang itu, hal ini membuat saya berpikir lagi, meskipun fiksi tetap ada pelajaran yang diambil untuk kita terapkan dalam dunia nyata.

Saya pernah membaca Eka Kurniawan dalam jurnalnya, kurang lebih ia menyebutkan bahwa setiap cerita atau novel adalah bentuk psikologis dari seorang tokoh. Mengenai apa yang ia pikirkan, apa yang ia lihat, rasakan, dengar dan pendangannya terhadap sesuatu. Hal ini benar-benar merupakan perihal unik dan setiap orang jelas berbeda satu sama lain. Barangkali sepetti itu yang di maksud Eka dalam salah satu jurnalnya, sebab saya sudah agak-agak lupa dengan apa yang Eka sebutkan. Namun hal itu membuat saya memperhatikan apa itu psikologi penokohan.

Selanjutnya yang saya dapat dari membaca Norwegian Wood, adalah cara Murakami dalam mengenalkan penulis-penulis yang pernah ia baca. Hal ini barangkali adalah serupa dengan memberikan referensi bacaan untuk pembaca bahwa novel ini merupakan novel yang ia tulis setelah membaca novel-novel tersebut. Beberapa nama penulis yang Murakami sebutkan namanya dari novel ini: Takahashi Kazumi,  Oe Ken Zaburo, Misima Yukio, Truman Capote, Updike, Scott Fitzgerald, Raymond Chandler, dan nama-nama lainnya. Dan tentu saja ini hanya dugaan saya.

Norwegian Wood ini di ceritakan dari sudut pandang Toru Watanabe, dari awal hingga akhir cerita adalah Watanabe yang bercerita tentang segala hal. Norwegian Wood ini berkisah tentang Watanabe yang memiliki ikatan dengan Naoko, semacam ikatan perasaan. Kisah di mulai ketika Watanabe mengenal Kizuki, dari Kizuki itulah dia mengenal Naoko, perempuan yang kelak ia cintai yang sebetulnya adalah pacar dari Kizuki sendiri. Memasuki dunia perkuliahan Watanabe berubah menjadi lelaki sangat berbeda setelah mengenal Nagasawa-San. Setiap malam ia pegi dan tidur dengan perempuan yang ia temui di jalan atau di kedai minum. Beberapa hal yang Murakami bahas secara serius disini menurut saya adalah beberapa hal tentang psikologis orang-orang dengan kehidupan bebas tanpa mengenal batas. Untuk keseluruhan ceritanya tentu saja tidak akan saya ceritakan semua. Sila di baca sendiri bukunya jika benar-benar penasaran.

Kebanyakan yang di katakan novel ini adalah hal-hal yang berbau sangat dewasa. Semuanya di perjelas Murakami tanpa berusaha menutup-nutupinya dengan metafora ataupun analogi. Beberapa kalimat terkesan sederhana dan benar-benar sangat mudah untuk di mengerti. Cara bertutur Murakami sangat menyenangkan, tidak terkesan muluk-muluk. Dan seolah takarannya pun pas.

Selama membaca ini saya merasa Murakami benar-benar telah berhasil membuat setting tempat yang jelas seolah-olah seperti melihat sendiri bagaimana sudut-sudut Jepang. Barangkali ini membutuhkan riset yang tidak sebentar. Dan seperti yang saya dapat dari membaca Bernard Batubara, bahwa penulis yang baik adalah penulis yang menulis bangsanya. Dari Murakami saya sedikit banyak telah mengenal Jepang. Tentang stasiun Ueno, Shibuya, bunga Narsis, dan sudut-sudut Jepang lainnya.

Selasa, 29 November 2016

Dialog dalam Norwegian Wood, Haruki Murakami

Dalam buku Creative Writing A.S. Laksana, pada dasarnya dialog dalam sebuah cerita adalah percakapan penting yang memiliki kekuatan tertentu, atau kalimat-kalimat yang memiliki penafsiran ganda. A.S. Laksana juga mengatakan dalam bukunya bahwa sebaiknya dialog yang di tulis dalam sebuah cerita merupakan dialog yang telah mengalami pemurnian dan tak seperti dialog yang di lakukan orang-orang dalam kehidupan sehari-hari. Setelah mengetahui itu saya benar-benar menjadi gentar dan takut untuk menuliskan dialog dalam cerpen-cerpen atau novel yang saya kerjakan. Lalu sejauh ini saya lebih sering membuat narasi-narasi panjang ketimbang harus membuat adegan dengan adanya dialog didalamnya. Namun di Norwegian Wood Haruki Murakami, saya mendapat pemahaman baru tentang dialog. Pertama saya merasa dengan dialog seorang narator bisa membelokkan atau membawa cerita kemana saja yang ia mau. Semisal seperti ini, saat seorang tokoh sedang berjalan-jalan dengan tokoh lain membicarakan sesuatu yang sekiranya sulit atau tidak mau di teruskan. Salah satu dari tokoh diatas bisa mengalihkan arah pembicaraan dengan ajakan untuk membahas sesuatu yang ia usulkan. Kedua dengan adanya dialog kita bisa menjadi se subyektif mungkin untuk berpendapat tentang suatu perkara. Barangkali disinilah kita dengan leluasa bisa mendapatkan kebebasan untuk berpendapat tanpa terbentur kepentingan-kepentingan pihak tertentu, termasuk kode etik yang di buat penguasa. Mungkin ini adalah salah satu teknik menulis artikel dalam sebuah cerita. Sehingga meskipun dalam dunia fiksi kita tetap memliki tempat untuk beraspirasi atau berpendapat. Ketiga, sepertinya saya kurang sependapat dengan A.S. Laksana, menurut saya hal-hal sepele atau percakapan yang biasa kita temukan dalam kehidupan nyata bolehlah satu dua kali kita masukkan ke dalam certia yang kita buat. Karena paling tidak dengan cara semacam itu kita bisa menurunkan tensi cerita. Dan mengatur irama cerita, seperti kata Bernard Batubara, bahwa cerita yang baik adalah cerita yang seperti lagu memiliki tangga nada tidak selalu tinggi atau selalu rendah. Ada intro, reff, dan semacamnya itu. Sehingga pembaca selalu nyaman dan menikmati cerita yang kita buat. Mungkin ini adalah tantangan tersendiri buat saya dalam menulis cerita agar cerita yang saya tulis selalu menarik dan tidak membuat pembaca jenuh.

Rabu, 23 November 2016

Saya dan Skripsi

Saya dan skripsi ibarat langit dan bumi atau air dan api, barangkali seperti itu. Dulu saya pernah menonton film Avatar The Lefend Of Aang. Film animasi ini bercertia tentang seorang anak yang memiliki kemampuan mengendalikan empat elemen dasar: bumi, udara, angin dan api. Yang mana dalam prosesnya ia harus memulai mempelajari satu persatu cara mengendalikan ke empat elemen dasar itu. Ketika harus mempelajari elemen api elemen itu sama sekali bertentangan dengan elemen air yang telah ia kuasai. Kemudian saya merasa perkara ini serupa dengan apa yang saya alami sekarang. Menulis skripsi sama sekali berbeda dengan menulis fiksi. Dalam menulis fiksi semisal novel, cerpen atau puisi saya hanya menulis saja, mengalir seperti air, kalaupun harus mengutip atau butuh sumber referensi, caranya tidak serumit menulis skripsi. Hanya begini seperti yang saya bilang sebelumnya, semuanya mengalir sendiri, sumber-sumber yang pernah saya baca berdatangan sendiri ketika saya sedang membutuhkannya. Kalaupun saya membutuhkan kalimat pembuka yang menarik agar pembaca selalu penasaran dengan cerpen saya biasanya saya mengutip dari tulisan yang saya kira menarik dan memiliki kekuatan untuk di jadikan pembuka cerita. Dan satu lagi saya mengerti keseluruhan dari apa yang saya tulis. Sementara di skripsi saya seperti orang yang tidak tahu harus kemana dan mau kemana. Pikiran saya seperti terpecah-pecah dan tidak tahu apa yang sedang saya tulis itu. Saya dan skripsi barangkali adalah dua hal yang sama sekali bertentangan seperti air dan api, malam dan siang, positf dan negatif. Begitulah kiranya saya dan skripsi sekarang ini, tapi tetap saja keduanya harus saya kuasai. Sebenarnya ini adalah jurnal saya yang pertama sebagai catatan tentang diri saya dan perihal menulis cerita.

Sabtu, 12 November 2016

Afrizal Malna: Berlin Proposal

Berkunjung ke negara orang lain barangkali adalah sebuah keterasingan yang luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana runyamnya. Mulai dari adat yang sama sekali berbeda, lingkungan tempat yang kita tinggali, rumah yang kita huni, tetangga sekitar, dan yang paling krusial barangkali adalah bahasa. Semuanya seketika menjadi berbeda.

Itulah barangkali yang di ibaratkan Malna seolah dirinya berubah menjadi serangga Kafka dengan keterasingan bahasa yang di milikinya. Ia merasa bahasa ibunya kehilangan kekuatan dan fungsi untuk mengungkapkan sebuah makna. Sehingga kondisi tersebut memaksanya untuk menggenggam bahasa baru seperti yang dia katakan dalam salah satu larik puisinya.

Berlin Proposal adalah buku kumpulan puisinya yang ia tulis saat sedang mengikuti artis residen DAAD di Berlin selama 1 bulan di tahun 2012. Kemudian di lanjutkan 1 tahun dari 2014-2015.

Pertama kali saya mengenal nama Afrizal Malna adalah dari tulisan dan puisi-puisinya yang di muat di litera.co.id. kemudian di IG seorang penyair muda Al Fian Dippahatang saya melihat ia berfoto dengan Afrizal Malna. Barulah setelah itu saya penasaran dengan dia. Dan akhirnya saya menemukan buku kumpulan puisinya Berlin Proposal.

Jujur ketika membaca puisi-puisi Malna di Berlin Proposal saya menemukan ketidakpahaman yang luar biasa. Namun di balik ketidakpahaman itu saya menemukan diri saya tergoda untuk terus membaca dan membacanya hingga tandas di lembar terakhir.

Subyektifitas Malna di buku ini seolah sangat kuat sekali. Seperti yang saya ketahui pada dasarnya puisi itu terpengaruh dari  tendensi penulisnya sendiri. Barangkali itu yang tergambar dari puisi-puisi Malna. Beberapa puisi memang seperti menggambarkan keadaan di Berlin, dimana penulisnya saat itu tengah berada. Disamping itu Malna juga sering memasukan istilah-istilah asing yang barangkali ia temui saat sedang berada di Berlin. Semisal Isthar Gate, gutenberg, ahrweiler, dan sekiranya masih banyak lagi. Ketika saya penasaran dan mencoba search di google 'isthar gate' beberapa saat kemudian muncullah sebuah bangunan besar serupa gerbang yang disusun dengan bata bata berwarna biru. Di salah satu dindingya tergambar hewan berkaki empat. Entah saya kurang tahu jelasnya binatang apa itu. Sapi atau rusa saya tidak begitu menyimaknya dengan seksama barangkali. Tapi intinya apa yang di katakan Malna dalam puisi-puisinya itu memang benar-benar ada.

Liar, berani, menantang keindahan diksi, dan melompat-lompat itulah yang saya dapat ketika membaca puisi-puisi Malna di berlin proposal ini. Ketika penyair-penyair lain sibuk memikirkan keindahan diksi. Malna malah sebaliknya ia melawan semua itu dengan gayanya yang berani dan melompat-lompat itulah yang menurut saya membuat puisi Malna memaksa saya untuk menghabiskan secepatnya.

Di puisi kaldera Afrizal Malna memaparkan puluhan gunung yang berada di Indonesia dan sejarah singkat mengenai gunung gunung itu. Berbeda dengan puisi paket kiriman, disini Malna seperti merangkum sejarah sejak 1898 hingga 1937. Kejadian-kejadian besar dalam dan luar negeri seolah di simpan dan terekam dalam sebuah miniatur. Yang siap untuk dibuka kapan saja. Hampir saja lupa ketika membaca puisi ini kita akan disuguhi gambar yang tidak lazim namun eksotis sepett bunga-bunga sehabis malam dan hujan di sore hari.

Menyenangkan seperti mencium harum jasmine sehabis hujan turun, itulah yang barangkali ingin saya ucapkan pada Malna untuk puisi-puisinya itu.

Senin, 07 November 2016

Kuntowijoyo: Dilarang Mencintai Bunga-Bunga

Saat membaca buku kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga ini saya merasa pergi ke masa dimana semuanya masih memegang erat nilai adat dan terhindar dari kemewahan.

Saya juga tidak asing dengan bahasa-bahasa yang digunakan Kuntowijoyo dalam kebanyakan cerpennya. Semisal kata keramat dan sendang, adalah dua kata yang sudah akrab dengan telinga saya sejak kecil. Beberapa cerpen Kuntowijoyo seakan membawa saya kembali pada ingatan-ingatan tentang desa saya sendiri.

Dari situ saya merasa masalah-masalah atau konflik dari kebanyakan cerpen Kuntowijoyo diambil dari masalah sosial yang sering muncul dalam masyarakat desa. Tidak jarang seperti mitos-mitos yang sering muncul dalam kehidupan desa, atau permasalahan remeh temeh lainnya. Namun dengan keahlian Kuntowijoyo yang remeh temeh itu menjadi perkara yang menarik untuk kita sikapi. Menurut sudut pandang seorang Kuntowijoyo.

Dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, bercerita tentang seorang anak yang baru saja pindah rumah. Ia melihat sebuah rumah yang asing tepat disamping rumah barunya sendiri. Satu dua kali mengintip ia tak mendapati penghuni rumah tersebut. Hingga pada suatu waktu si anak tadi melihat seorang kakek di rumah itu. Entah bagaimana detailnya saya agak lupa. Namun pada akhirnya keduanya menjadi teman baik si anak dan kakek penghuni rumah asing tadi. Di rumah kakek tadi si anak kemudian mengenal bunga-bunga yang bermekaran dimana-mana di halaman bahkan di dalam rumah. Lalu keduanya sering bertemu dan menjadi teman akrab, sering juga mereka berdiskusi tentang perihal-perihal berat tentang kehidupan dan hal-hal lain yang filosofis.

Lalu konflik muncul ketika si anak laki-laki tadi pulang membawa bunga-bunga di genggaman tangannya. Ketika ayahnya melihat si ayah lantas merampas bunga-bunga itu dan memasukkan dalam tong sampah. Menurutnya anak laki-laki tidak pantas dengan bunga-bunga. Anak laki-laki harus berkotor-kotoran dan bekerja keras tidak boleh memiliki sifat yang lembut seperti bunga-bunga itu. Dan ketika anaknya mrmbantah dengan melontarkan perkataan serupa dengan yang dikatakan kakek itu. Ayahnya menjadi marah bukan main. Barangkali ini menunjukkan pergaulan dengan siapapun akan berpengaruh besar pada diri kita sendiri.

Perkara laki-laki dan Bunga-bunga ini, juga sempat di bahas oleh Bernard Batubara dalam kata pengantar buku itu. Saya rasa Bernard Batubara seperti memberikan antitesis terhadap makna tersirat yang terkandung dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Itu bisa kita lihat dari judul yang diberikan Bara dalam kata pengantarnya "Berani Mencintai Bunga-Bunga". Ia berpendapat bahwa anak laki-laki tidak selamanya harus bekerja dengan hal-hal yang kasar, berkotor-kotoran, dan berbau tidak sedap. Adakalanya Laki-laki juga harus berdandan bersih berbau harum. Tidak seluruhnya pekerjaan mengahruskan laki-laki untuk berkotor-kotoran bukan? Barangkali seperti itulah maksud Bara. Dan saya sendiri tentu saja sangat setuju dengan apa yang di katakan Bara pada kata pengantar itu.

Dalam kebanyakan cerpennya Kuntowijoyo seakan banyak menampilkan kondisi psikologis tokoh, hal ini terlihat jelas dalam cerpen terakhir "Burung Kecil Bersarang di Pohon". Ia mengulas bagaiamana kondisi psikologis seorang guru tauhid semasa perjalanannya menuju Masjid. Disini sepertinya Kuntowijoyo lebih banyak menggambarkan kondisi kejiwaan si tokoh ketimbang menggambarkan dunia luar si tokoh.

Satulagi dalam cerpen-cerpennya Kuntowijoyo syarat sekali dengan nilai spiritual, ketenangan jiwa, dan hubungan manusia dengsn Tuhan.

Senin, 24 Oktober 2016

Bernard Batubara: Surat untuk Ruth

Setelah saya membaca beberapa tulisan Bernard Batubara di blognya, tentang ulasan buku yang dia baca, tentang wawancara yang ia lakukan pada penulis lain, atau tentang tulisan-tulisan lain yang ia tulis di blognya. Saya merasa harus belajar banyak darinya tentang tulis-menulis novel.

Pada salah satu tulisan di blognya ia mengatakan, dalam menulis novel ia lebih cenderung menggunakan draf ketimbang menulis dengan spontan, seperti apa yang di lakukan Eka Kurniawan. Dari sini saya sedikit mengerti bahwa para penulis hebat itu punya cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan tulisannya.

Metode mempersiapkan draf sebelum menulis novel yang biasa dilakukan Bernard Batubara membuat saya tertarik untuk mempelajari. Dan akhirnya saya memutuskan untuk membeli novelnya "Surat Untuk Ruth" yang tidak terlalu tebal dan juga tidak terlalu tipis. Entah novel tersebut di tulis dengan menyiapkan draf terlebih dahulu atau tidak, sebenarnya saya benar-benar tidak tahu, barangkali sama tidak tahunya seperti kapan saya tiba-tiba bersin. Tapi entah kenapa saya yakin saya harus belajar dari novel ini.

Pertama kali saya membaca "Surat Untuk Ruth" saya merasa adanya kesan yang janggal. Disini narator adalah Areno Adamar. Seluruh cerita dikisahkan dari sudut pandang Are. Dan entah mengapa saya merasa narator hanya sedang berbicara pada kekasihnya ketimbang kesan berbicara atau bercerita pada pembaca sesungguhnya, ini karena narator sering mengucapkan kamu, yang artinya kamu bukanlah pembaca sebenarnya, melainkan Ruth. Seakan-akan buku ini ditulis hanya untuk di baca Ruth saja.

Barangkali novel ini adalah salah satu contoh novel kontemporer yang ditulis pada zamannya yakni di abad 20 an dengan kemewahan teknologi dan hiruk pikuk perkotaan. Bernard suka memasukkan hal-hal kecil seperti ketika tokoh mengirim pesan melalui ponsel, atau adanya gerai-gerai kopi tempat nongkrong, laptop dan lain-lainnya saya menganggap hal-hal kecil itulah yang membawa kita pada tahun-tahun tertentu. Tidak hanya itu saja Bernard juga suka memasukkan tempat-tempat menarik sebagai setting adegan di novelnya.

Jika dibandingkan dengan "Metafora Padma" cara berkelakar Bara terlihat seperti ada yang kurang. Namun di "Surat Untuk Ruth" banyak kata-kata puitis disana-sini.

Secara garis besar buku ini menceritakan sebuah percintaan dua orang remaja, Are dan Ruth. Ruth tidak bisa menerima Are meskipun ia sendiri mencintai Are. Sejak mendengar perkataan itu akhirnya Are mencoba melepas Ruth dengan menulis surat yang berisi catatan-catatan tentangnya. Karena mengetahui ini akhirnya Ruth membatalkan pernikahannya dengan Abimanyu dan memutuskan untuk menunggu kedatangan Are di Bali. Namun sampai kapanpun Ruth menunggu, Are tak akan pernah datang. Barangkali untuk lebih jelasnya sila di baca sendiri novelnya.

Jumat, 14 Oktober 2016

Eka Kurniawan: Corat-coret di Toilet

Dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar, pergi ke toilet adalah suatu perkara yang kalau bisa tak pernah dilakukan, kecuali jika dalam keadaan-keadaan genting. Bahkan beberapa anak rasanya sama sepertiku enggan sekali pergi ke toilet. Itulah mengapa dulu banyak sekali tragedi-tragedi memilukan, atau barangkali memalukan bagi si pelaku. Tragedi itu tidak lain adalah buang eek di celana.

Dalam cerpen Eka Kurniawan, Corat-coret di Toilet ini salah satunya mengingatkan pada saya masa-masa dimana toilet menjadi tempat untuk menyalurkan segala aspirasi yang ternyata tidak di terima di surat kabar, koran, atau media-media lainnya. Di dinding-dinding toilet saat itu terdapat banyak sekali tulisan atau barangkali Corat-coret sebab tidak hanya tulisan yang terpampang disana ada gambar-gambar aneh, mengerikan, bahkan ada juga gambar-gambar yang jika ditampilkan kan di televisi patut sekali untuk disensor, terpampang gagah didinding toilet. Itulah barangkali salah satu alasan mengapa kami dulu enggan untuk ke toilet.

Setelah membaca buku kumpulan cerpen Corat-coret di Toilet ini. Kiranyanya saya sedikit paham mengapa cerpen-cerpen saya kebanyakan tak dimuat di media-media setelah saya kirimkan dan tunggu hingga berminggu-minggu. Barangkali itu wajar saja. Setelah saya membaca cerpen-cerpen Eka dan membandingkan dengan cerpen-cerpen yang saya buat. Kiranya cerpen saya kalah dalam banyak hal.

Ibarat manusia barangkali cerpen saya kurang memiliki tangan yang kuat, kakinya lecil, dan badannya apalagi. Sehingga manapantas untuk ditampilkan dan disukai pembaca. Di cerpen-cerpen yang terangkum dalam buku Corat-coret di Toilet, Eka seperti membuat saya terlempar jauh ke masa lalu. Setting yang dibuat Eka ternyata sangat kuat. Itu saya rasakan hampir diseluruh cerpen Eka, diantaranya dalam cerpen Peterpan, Hikayat Orang Gila, Rayuan Dusta untuk Marietje, dan Siapa Kirim Aku Bunga. Dalam cerpen itu setting masa lalu yang Eka buat ternyata sungguh menawan, dan sesekali membuat saya geleng-geleng kepala. Rasanya hal semacam ini perlu saya lakukan di cerpen-cerpen saya selanjutnya. Saya kasih tahu sedikit ya kawan di cerpen-cerpen itu Eka memasukkan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa lalu dimana kisah itu sedang berlangsung.

Dan ada lagi yang rasanya saya belum mahir, yakni menjadi narator yang menyenangkan. Eka bisa membuat saya terpingkal-pingkal disana-sini. Cara berkelakar Eka terasa bebas dan cerdas, ia juga menyuguhkan analogi-analogi yang kaya dan tidak kering.

Oh iya, saya rasa di cerpen-cerpen ini Eka gemar sekali membahas pemerintahan, peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia. Dan satu lagi Eka sering membahas dunia-dunia mahasiswa salah satunya di cerpen Kandang Babi.

Kiranya itu yang saya peroleh setelah membaca Corat-coret di Toilet, Eka Kurniawan. Keseluruhannya silahkan kawan-kawan baca sendiri, sepertinya lebih menyenangkan jika teman-teman membacanya sendiri. Sekarang pilih mana makan es krim sendiri atau saya ceritai bagaimana enaknya makan es krim.

Minggu, 09 Oktober 2016

Ayu Utami: Saman

Narator membuka cerita ini ketika berada di New York. Mulanya saya tidak mengerti siapa yang sebenarnya menjadi Narator dalam Roman ini. Tapi karena sudah terlanjur, mau tidak mau saya lanjutkan membaca Saman dan tak terasa cerita telah habis.

Dihalaman-halaman awal bermulanya cerita ini, saya seolah sedang di ajak jalan-jalan di tengah hutan pada waktu malam yang gelap gulita tidak tahu mau di ajak kemana, sehingga yang saya rasakan agak gamang untuk melanjutkan membacanya. Namun ketika setitik cahaya mulai terlihat didepan sana langkah saya semakin cepat dan keinginan untuk menoleh kebelakang dengan serta merta sirna dari kepala saya bagai debu yang disapu topan.

Setitik cahaya itulah yang saya maksud dengan konflik cerita. Ketika konflik itu mulai tampak saya seakan-akan terseret oleh sesuatu yang menggoda barangkali seperti perempuan cantik. Saya tergoda untuk selalu membaca dan dengan segera ingin mengetahui bagaimana kelanjutan ceritanya.

Ketika membaca Saman ini, saya teringat dengan cerpen M Aan Mansyur yang berjudul Kukila. Saman dan Kukila mempunyai kemiripan dalam hal Narator. Keduanya diceritakan oleh lebih dari satu Narator. Di Saman barangkali ada empat Narator yang bercerita. Pertama Laila, kedua Shakuntala, ketiga Saman atau Wisanggeni, yang terakhir adalah Yasmin. Meski dibentuk oleh empat narator cerita ini tetap kokoh dan tidak terkesan acak-acakan. Barangkali statemen: dunia akan hancur jika ada lebih dari satu Tuhan yang berkuasa. Di Saman ada lebih dari satu tuhan (Tuhan yang saya maksud dalam sebuah cerita adalah Narator) dan cerita tetap kokoh malahan menjadi semakin menarik.

Dan akhirnya saya akan mengangguk setuju dan sama sekali tidak heran jika Roman ini mendapat anugrah Pemenang Sayembara Roman 1998 versi DKJ. Saya suka cara Ayu Utami beralih peran dari narator satu ke narator lain. Pada salah satu narator Ayu Utami juga memerankan menjadi narator laki-laki, saya rasa itu tidak mudah dan butuh riset bagaimana menjadi seorang laki-laki sementara ia sendiri adalah perempuan. tentu saja ini tidak bisa dianggap sepele barangkali butuh riset yang mendalam mengenai psikologis, pandangan, pola pikir seorang laki-laki. Entah bagaimana cara Ayu Utami melakukan hal ini. Namun paling tidak dari Ayu Utami saya belajar bagaimana membuat cerita dengan narator yang lebih dari satu.

Oke baiklah saya akan ceritakan sedikit jika teman-teman ingin mengetahui bagaimana isi dari Roman ini. Cerita ini dimulai ketika Laila, yang menjadi narator pertama bekerja di sebuah pertambangan yang beroperasi di tengah laut mengalami sebuah kecelakan besar. Disitulah pertama kali ia melihat Sihar, seorang laki-laki pekerja tambang yang telah memikat hatinya. Laila tertarik padanya meskipun ia tahu Sihar telah beristri. Dari Sihar pulalah kemudian Laila teringat akan seseorang yang pada waktu kecil telah membuatnya terkagum-kagum yakni, Saman.

Wisanggeni adalah nama yang dipakai sebelum menggunakan nama Saman. Wis kecil adalah seorang anak yang dibesarkan di sebuah kampung, ketika ia kecil ibunya hamil dan ketika usia kandungannya mencapai tujuh bulan tiba-tiba bayi yang berada dikandungan yang kelak akan menjadi adiknya jika lahir, entah mengapa pada suatu hari tiba-tiba menghilang janinnya hilang. Dan kejadian ini berlanjut selama tiga kali ibunya hamil. Pada kehamilan ketiga adik Wis telah lahir namun tidak lama adiknya meninggal. Semenjak itu Wis kecil mendengar suara-suara aneh yang suka berbeisik didekat tengkuknya. Namun ketika Wis menoleh ia tak mendapati apa-apa.

Dari situlah saya mulai menikmati cerita, ketika membaca saya tiba-tiba teringat dongeng ibu saya pada waktu kecil kejadiannya persis yang dialami Ibu Wis. Ada makhluk tak kasat mata yang suka mengambil janin yang berada di kandungan.

Wis percaya bahwa saudara-saudara itu tidak benar-benar mati, ia menganggap mereka masih ada. Dan suara-suara itulah yang kelak suka muncul saat Wis berada dalam keadaan genting. Kisah ini mengambil setting pada masa orde baru. Pada masa ia beranjak dewasa Wis memilih untuk untuk menjadi Pastur dan ingin di tugaskan di tempat yang jauh.

Di Perabumulih Wis menjalani hari-hari sebagai seorang pastur. Sebelum sebuah kejadian mengubahnya untuk menjadi seorang aktivis penyelamat petani karet. Mulanya gara-gara Upi seorang gadis perempuan yang sakit jiwa. Ia dipasung  dalam sebuah kandang bambu. Kemudian ia membangunkan kandang yang lebih layak. Setelahnya Wis memperbaiki kebu karet warga yang hampir punah.

Setelah mengetahui hal ini tragedi-tragedi mengangkang mulai bermunculan. Penculikan yang dilakukan oleh pemerintah. Adegan-adegan asmara dewasa. Serta masih banyak lagi. Kira-kira tidak cukup jika saya ceritakan disini. Jika masih penasaran langsung baca saja bukunya, dan silahkan nilai sendiri buku ini.

Senin, 03 Oktober 2016

Bernard Batubara: Metafora Padma

Ini adalah buku ke sembilan Bernard Batubara. Metafora Padma merupakan buku kumpulan cerpen yang terdiri dari 14 cerpen. Sebelum membahas lebih jauh tentang buku ini. Lebih baik saya utarakan terlebih dahulu bahwa ini adalah salah satu buku yang istimewa. Kenapa? Pasti kalian akan tanya seperti itu. Baiklah akan saya jawab. Pertama buku ini saya dapatkan gratis tis tis, langsung di kasih penulisnya setelah saya menjawab pertanyaan, apa judul buku pertama Bara? Tentu saja saya jawab dengan lantang, keras (tanpa microphone) dan sangat percaya diri 'Angsa-angsa Ketapang' meski saya belum pernah baca buku kumpulan puisi itu. Setidaknya saya tahu judulnya.

Kedua buku ini ada tanda tangan Bernard Batubara dan yang diberikan untuk Fatah Ans(h)ori, meski salah tulis tidak ada huruf h dalam kata Anshori. Tapi tidak apa-apa paling tidak ia telah mendengar nama saya dan telah menuliskan nama saya, dalam sebuah kertas. Ketiga buku ini adalah buku yang dikerjakan secara bersama-sama. Desain sampul langsung dari Eka Kurniawan, salah satu penulis yang sering saya baca tulisan atau jurnalnya. Ilustrasi dari Ega Lathoya, saya tidak begitu tahu tentangnya tapi saya suka ilustrasi-ilustrasi yang ia buat untuk cerpen-cerpen Bara. Dan di ucapan terimakasih Bara juga menyebut nama Dea Anugrah, dia baru saja menerbitkan buku cerpen dengan judul 'Bakat Menggonggong' dan beberapa cerpennya ternyata telah banyak di muat di berbagai media. Ternyata perjalanan menulis saya masih jauh dan harus banyak belajar. Sisakan 3 jam dalam sehari untuk membaca dan menulis maka 10 tahun lagi akan kau dapatkan apa itu yang dinamakan keahlian, kurang lebih seperti itu kata Malcolm Gladwel.

Pertama kali saya membaca Bernard Batubara yakni dari buku kumpulan cerpenmya yang berjudul Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, mungkin dari situlah sekarang saya keranjingan menulis cerpen. Jika dibandingkan dengan buku kumpulan cerpennya yang sebelumnya Metafora Padma ini terkesan agak berani. Dalam beberapa cerpen di Metafora Padma agaknya Bara menulis dengan gaya realisme. Semisal dalam cepen yang berjudul Sepenggal Dongeng Bulan Merah, yang diakhir-akhir cerita menggambarkan Manulais, seorang lelaki yang berjalan menuju bulan merah dan menemukan perempuan yang ia cintai didalam bulan merah itu. Atau dalam cerpen Gelembung, cerpen ini singkatnya berkisah tentang seseorang yang bangun dari tidurnya. Dan menemukan dirinya dilingkupi gelembung, semacam gelembung sabun yang besar dan tidak bisa pecah. Hal-hal semacam itu didunia nyata barangkali tidak ada.

Jika dibandingkan dengan buku cerpen Bara yang sebelumnya, Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Yang sebagian besar cerpen-cerpennya mengambil POV orang pertama. Di Metafora Padma Bara entah mengapa mengambil POV yang bermacam-macam, omnisciene, dalam cerpen Percakapan Kala Hujan dan Alasan, misalnya. Disini seolah Bara menunjukkan kematangannya dalam bercerita.

Didalam cerpennya yang pertama, Perkenalan. Saya melihat A.S. Laksana bercerita dalam Murjangkung. Dalam cerpen itu yang menjadi narator adalah arwah yang sedang merasuki seorang anak. Disini Bara menggunakan narator yang tidak afdol seperti kebanyakan cerpen A.S. Laksana dalam Murjangkung. Tidak hanya itu saja jika A.S Laksana lebih hobi menjadikan setan sebagai narator. Di Metafora Padma akan kita temukan barang-barang atau benda yang sering kita jumpai dalam sehari-hari bisa bercerita dan mengungkapkan monolog interiornya. Semisal dalam cerpen Rumah dan Solilokui Natalia.

Keseluruhan saya suka cerpen-cerpennya, setidaknya menunjukkan pada saya bahwa saya harus banyak belajar, belajar dan belajar terus sebab begitu banyak teknik atau hal-hal dalam penulisan yang belum saya ketahui. Oh hampir lupa, di buku kesembilan Bara ini. Menurut saya, Ia terlihat lebih dewasa. Banyak sekali kalimat-kalimat filosofis yang berjejalan di cerpen-cerpennya. Semisal di Metafora Padma itu sendiri. Silahkan baca sendiri jika tidak percaya. Satu lagi, setelah baca buku ini saya baru tahu kalau Padma itu nama lain dari Lotus.

Minggu, 25 September 2016

Abdoel Moeis: Salah Asuhan

Sejak kecil lingkungan dikampung saya memang akrab dengan adat dan mitos-mitos yang sempat membuat saya takut jika tidak patuh akan hal-hal yang disebutkan orang tua. Semisal anak-anak tidak boleh bermain diluar rumah ketika sore hari, sesaat sebelum sholat Maghrib karena dalam waktu-waktu itu, katanya marabahaya mudah datang. Ada lagi, kita tidak boleh menduduki sapu lidi, jika tidak ingin beranak banyak saat berumah tangga nanti. Dan masih banyak lagi mitos-mitos semacam ini, atau barangkali sebagian menyebut hal-hal seperti itu sebagai, pamali.

Sejak kecil saya dibesarkan dengan adat dan mitos-mitos yang pada waktu itu sering membuat saya ketakutan jika tetap melawan, saya benar-benar takut terkena imbasnya. Namun seiring waktu berjalan, ketika saya tumbuh dan tumbuh otak saya suka terusik ketika memikirkan mitos-mitos atau adat yang suka dibicarakan orang tua itu. Seakan ada orang lain dikepala saya yang berkata pada saya bahwa segala apa yang dikatakan orang tua itu tak bisa diterima akal, atau bahkan tidak rasional sama sekali. Tidak ilmiah, begitu barangkali kata intelektual-intelektual muda sekarang.

Ibu sayalah yang suka sekali melontarkan mitos-mitos itu. Segala apa yang keluar dari mulut ibu saya selalu saya dengar dan entah mengapa saya selalu menikmati cerita-cerita ibu. Barangkali ibu adalah pendongeng terbaik yang pertama kali saya kenal. Ia pandai membuat cerita-cerita aneh yang sebenarnya mitos itu, namun saya percayai dan patuhi pesan-pesannya. Ternyata ibu saya sudah mengerti bagaimana cara mengindoktrinasi dengan baik meski ibu saya hanya tamatan SMP. Baru saya sadari kehebatan beliau dalam membuat cerita aneh, tidak masuk akal, tapi ajaib, bisa diterima begitu saja oleh anak-anaknya.

Kurang lebih seperti itulah cara ibu mengasuh anak-anaknya. Benar, kami dibesarkan dengan mitos-mitos yang aneh dan seringkali tidak bisa dinalar. Menurut beberapa orang, mungkin cara-cara semacam itu tidak masuk dalam ilmu parenting. Oke baiklah, kiranya prolog barusan sudah cukup untuk memulai ke buku yang hendak kita bahas.

Dalam novel yang termasuk sastra klasik ini Abdoel Moeis mengambil tema yang barangkali juga klasik yakni tentang percintaan. Namun yang membuat menarik kisah cinta segitiga Hanafi, Corrie dan Rapiah dibalut dengan setting Indonesia sesaat setelah merdeka. Dan diimbuhi gagasan yang syarat pesan moral.

Hanafi seorang anak Bumiputra yang sejak kecil banyak bergaul dengan bangsa belanda serta disekolahkan di sekolah Belanda. Dan telah lama mengenal Corrie seorang gadis dari bangsa Belanda. Sehingga keduanya telah menjalin pertalian yang telah lama. Dan pada akhirnya tumbuhlah perasaan cinta Hanafi pada Corrie gadis Belanda itu. Namun sayangnya cinta Hanafi terbatasi adat yang diciptakan kedua bangsa.

Disaat yang sama ibu Hanafi memaksanya untuk menikahi Seorang perempuan kampung, totok dan memegang erat adat bangsanya, itulah Rapiah. Karena hal balas budi akhirnya Hanafi harus menikahi Rapiah, namun cinta Hanafi hanya buat Corrie seorang. Hari-hari setelah pernikahan adalah neraka bagi Rapiah setiap hari ia menerima perlakuan kasar dari suaminya.

Didalam hati Hanafi hanya ada Corrie semata. Pada suatu hari ketika Hanafi ke Betawi bertemulah ia dengan Corrie. Keduanya akhirnya melanggar adat bangsanya masing-masing dan membulatkan tekad untuk menikah, setelah Hanafi mencerai Rapiah di kampung. Betapa sedih ibunya mengetahui fasal ini. Anaknya yang satu-satunya itu dikiranya telah salah dalam memberi asuhan. Ia menyesal bukan main melihat perangai anaknya yang demikian. Didalam prasangkaan ia telah salah lantaran tidak membesarkan anaknya didalam adat kampung yang syarat pelajaran-pelajaran agama.

Didalam novel ini Abdoel Moeis menjadi narator dengan gaya omniscience. Dan bahasa yang digunakan khas sekali, seketika saya teringat dengan Buya Hamka gaya penulisannya hampir sama, memunculkan kekhasan Sumatera. Jika masih penasaran sila dibaca bukunya sendiri.

Sabtu, 24 September 2016

Putu Wijaya: Gres

Putu Wijaya adalah penulis yang saya kenal dengan tidak sengaja. Mulanya saya mencari-cari buku sastra klasik terbitan Balai Pustaka dan akhirnya saya menemukan buku kumpulan cerpen Gres ini diantara tumpukan buku-buku lainnya. Disebutkan dalam kata pengantar bahwa Putu Wijaya adalah penulis yang menciptakan trend baru pada masanya bersama Danarto, Budi Darma, dan lain-lain.

Dalam buku kumpulan cerpen ini ada 17 cerita pendek yang entah mengapa setiap judulnya hanya menggunakan satu kata. Salah satu apalagi salah dua dari ketujuh belas cerpen itu tak ada yang menggunakan judul lebih dari satu kata. Barangkali ini memang dibuat-buat Putu Wijaya untuk menunjukkan ciri khas atau karakternya sebagai penulis, saya juga kurang tahu sebab baru dari buku ini saya membaca Putu Wijaya. Untuk sementara ini saya belum pernah menemukan tulisan atau cerpen-cerpennya dimuat di media seperti koran atau yang lainnya.

Pertama saya membaca cerpennya yang berjudul Babi, saya langsung suka dengan cara berkelakar Putu Wijaya. Caranya menjadi narator sangat berani dan terkadang membuat saya tertawa dengan keunikan gagasan yang ia sampaikan dalam cerpen-cerpennya. Dalam cerpen Babi, Putu Wijaya menceritakan kisah yang absurd, menurut saya. Bagaimana mungkin sebuah tangan bisa berseberangan idealisme dengan kepala atau isi pikiran kita. Setiap kali hendak menuliskan namanya sendiri tangan kanannya dengan serta merta menulis kata Babi. Yang ada adalah kata 'Babi' bukan namanya. Menurut Dokter ini adalah rencana tangan kirinya yang iri dengan tangan kanannya. Oleh karena itu tangan kiri ingin melakukan rencana semacam kudeta terhadap tangan kanan. Kadang-kadang saya tidak begitu mengerti dengan gagasan yang disampaikan oleh Putu Wijaya.

Beberapa cerpen Putu Wijaya menurut saya tidak membesar-besarkan drama. Yang artinya dalam beberapa cerpennya Putu Wijaya tidak menkonkretkan sebuah adegan dengan setting yang kuat seperti dalam cerpenya: 1981, Aktor, Moh, Neraka, Maria, dan Bisma. Kira-kira di cerpen-cerpen itu Putu Wijaya kelihatannya lebih tertarik untuk mengutarakan gagasan-gagasan lewat tokoh-tokoh yang Ia buat, ketimbang sibuk menggambarkan setting. Namun itu tidak mengurangi kemenarikan kisah yang dibuat Putu Wijaya.

Dalam cerpen-cerpennya yang lain Putu Wijaya sering menciptakan tokoh yang diluar adat. Unik bin aneh dan perlu saya akui berhasil membuat saya tertarik dan membacanya hingga kelar. Seperti dalam cerpen yang berjudul Dompet misalnnya, disitu Putu Wijaya membuat seorang tokoh berperilaku dan berpikiran macam-macam lantaran sebuah dompet. Segala prasangka buruk seakan-akan menerornya setiap waktu. Sehingga yang terjadi hidup si tokoh jadi tidak tenang. Dan di akhir cerita si tokoh akhirnya mati gara-gara sebuah dompet.

Ini serupa dengan apa yang terjadi dalam cerpen-cerpennya yang berjudul Roh. Disitu tokoh utamanya dibuat lain dari kebanyakan orang. Roh yang menjadi tokoh utama sangat ingin merayakan ulang tahun namun Roh sendiri tidak tahu kapan hari ulang tahunnya, alias ia tak tahu kapan tanggal lahirnya. Ini gara-gara waktu ia lahir tak ada yang mencatat tanggalnya.

Dari kisah-kisah itu saya takjub dengan cara Putu Wijaya membuat logika cerita. aneh, absurd bagai benang kusut namun keseluruhan cerita tetap bisa di ikuti dengan nalar dan rasional. mengandung hukum sebab akibat yang apik. Sehingga setiap cerita seperti terjalin dari awal hingga akhir. Berkesinambungan, meski sesekali saya harus berhenti atau mengulang membacanya untuk merenung dan memikirkan kemana cerita ini akan dibawa. Satu lagi disetiap akhir cerpennya Putu Wijaya menyisipkan TTL cerpennya. Barangkali ini bisa dijadikan tinjauan untuk peneliti yang ingin mencari tahu apa yang terjadi ketika waktu itu pada wajah Indonesia. Mungkin seperti itu.[]

Kamis, 22 September 2016

Ilalang di Kemarau Panjang

Ilalang di Kemarau Panjang 
(Novel, 2015)
Penerbit: Penulis Muda Publisher
ISBN: 978-602-678-315-8
Harga: Rp. 50.000,-

Senin, 19 September 2016

M Aan Mansyur: Tidak Ada New York Hari Ini

Tidak Ada New York Hari Ini adalah buku kumpulan puisi M Aan Mansyur. Sebelumnya saya sempat membaca Kukila, juga buku M Aan Mansyur namun buku itu adalah kumpulan cerpen. Ketika membaca Kukila saya diam-diam melingkari nama M Aan Mansyur sebagai penulis yang patut ditiru. Rasanya saya bisa belajar banyak tentang menulis fiksi ketika membaca tulisan-tulisannya entah itu berupa cerpen, puisi atau tulisan-tulisannya yang lain yang banyak tersebar di Internet.

Setelah membaca Kukila, penasaran didada saya rasanya semakin memuncak. Dengan diam-diam (juga) saya lantas iseng mencarinya di Instagram juga di Internet. Saya tercengang ketika mengetahui aktivitas penulis yang lahir di Bone ini. Dia ternyata menyibukkan diri diberbagai aktivitas literasi. Saat kuliah dia sempat membuat perpustakaan punggung. Kemudian mendirikan kafe baca yang ia namai Biblioholic. Juga tergabung dalam komunitas Ininnawa. Dan saat ini ia tergabung dalam perpustakaan yang ia namai Katakerja.

Kemudian yang saya lakukan karena semakin penasaran dengannya, adalah membaca biografinya. Disini saya sempat tercengang (juga) ketika mengetahui adanya keselarasan antara cerpen yang ia tulis, dengan kisah perjalanan hidupnya. Sejak kecil Aan memang suka menulis, apapun ia catat dalam buku tulis pemberian kakeknya. Ia juga suka menulis surat. Ini serupa dengan yang tertulis dalam salah satu cerpennya yang terkumpul dalam kumpulan cerpen Kukila.

Sebelumnya saya harus minta maaf dulu pada teman-teman karena melenceng jauh dari apa yang pertama saya niatkan, yakni mengulas tentang buku kumpulan puisi Tidak Ada New York Hari Ini. Tapi sebagai pembaca, kan tidak ada salahnya kepoin penulisnya hehe... . Sebenarnya cara seperti itu saya dapatkan dari Eka Kurniawan, untuk membandingkan karya penulis dengan biografi penulis, apakah ada keselarasan antara keduanya. Dan seperti yang dikatakan Eka Kurniawan ternyata sedikit banyak ada keselarasan antara keduanya. Memang pada dasarnya kita dilarang percaya pada fiksi, namun nyatanya fiksi sedikit banyak bisa terinspirasi dari kisah-kisah nyata. Hanya mungkin, menurut sepengetahuan saya (yang tidak tahu apa-apa ini hehe) kisah-kisah nyata itu diubah menjadi alegori oleh penulisnya.

Ketika membaca buku Tidak Ada New York Hari Ini, saya enggan untuk segera mengkhatamkannya. Dalam hati kecil, saya berharap buku itu tak bisa habis dibaca semakin tebal dan semakin tebal, mungkin menurut teman-teman ini terlihat lucu. Namun nyatanya seperti itu. Dan ini sering saya alami ketika tengah membaca buku-buku bagus lainnya.

Buku ini sebenarnya adalah buku puisi yang dipersiapkan untuk film AADC2. Dalam sebuah artikel dikatakan buku ini merupakan puisi-puisi yang dibuat Rangga dalam film tersebut. M Aan Mansyur mengaku buku ini ia tulis selama tiga bulan setelah tawaran yang ia dapat dari Mira Lesmana. Selama itu, dikatakan oleh Aan bahwa ia banyak membaca tentang New York juga mengikuti akun Instagram orang yang sering memasang wajah New York. Kadang-kadang ia juga membayangkan dirinya menjadi Rangga yang tengah merantau jauh dan rindu akan Indonesia. Semua itu Aan maksudkan untuk mengetahui warna-warni New York serta bagaimana menjadi seseorang yang sedang dilanda rindu. Barangkali ini yang disebut riset.

Tidak hanya itu didalam buku ini juga memuat foto sudut-sudut New York. Foto-foto itu diambil oleh Mo Riza dengan kepiawaiannya sebagai pengambil gambar. Sehingga ketika membaca buku ini saya seakan-akan sedang berada ke New York. Padahal saya belum pernah ke sana hehe... . Entah kenapa ketika membaca ini atmosfer New York sangat terasa dengan berbagai pernak-perniknya. Kesibukannya, dinginnya, juga kenyamanan dan kehangatannya.

Didalam puisi-puisi itu Aan membuat saya terkesima untuk kesekian kalinya. Analogi dan metaforanya amat sangat kaya. Dan setiap membaca puisi itu, saya seakan menemukan kekuatan yang luar. Sepertinya saya sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata entah dimulai dari mana. Puisi itu membuat saya suka dan tidak bosan untuk membacanya berkali-kali. Didalamnya seakan tersirat kekuatan, hikmah, dan alegori-alegori yang membuat saya sering terdiam dan merenung untuk mencoba memahami maksud puisi tersebut. Dan kebanyakan saya tetap tidak mengerti. Tapi anehnya saya senang.

Barangkali untuk teman-teman yang menyukai puisi boleh mencoba membaca kumpulan puisi M Aan Mansyur yang satu ini.

Kamis, 15 September 2016

Budi Darma: Tukang Cukur

Nama Budi Darma saya ketahui dari Andrea Hirata. Sekalipun saya belum pernah membaca buku beliau. Tapi paling tidak nama buku-bukunya yang sering dibicarakan yakni 'Orang-orang Bloomington' dan 'Olenka' sudah sempat saya dengar. Paling tidak kelak saya ingin membaca buku-buku beliau, tentunya jika umur dan uang di dompet mencukupi, hehe ...

Baiklah disini saya ingin mengulas cerpen Budi Darma yang pada minggu, 11 September 2015 di muat dalam koran Kompas dengan judul 'Tukang Cukur'. Selama ini Saya membaca Budi Darma hanya melalui cerpen-cerpennya yang dimuat dalam koran Kompas tiap hari minggu, kalau tidak salah saya baru membaca cerpen Budi Darma sebanyak dua kali. Cerpen sebelumnya yang sempat saya baca berjudul 'Presiden Jebule' jika itu tidak salah, sebab kepala saya kadang-kadang suka lupa-lupa ingat.

Baiklah kita kembali ke tujuan utama tulisan ini. 'Tukang Cukur'cerpen Budi Darma ini dibuka dengan kebiasaan seorang anak laki-laki yang tiap harinya berangkat sekolah dengan berjalan kaki selama 14 kilometer pulang pergi. Mulanya saya mengira cerpen ini akan menceritakan sebuah perjuangan seorang anak untuk bersekolah. Tapi setelah disebutkan anak itu berangkat sekolah tanpa alas kaki, kawan-kawannya juga sama, bahkan guru-gurunya pun sama, berangkat sekolah tanpa alas kaki. Membuat kepala saya terganggu, apa maksudnya ini? Ternyata setelah selesai membaca keseluruhannya saya baru tahu, begitulah cara Budi Darma dalam membuat setting pada zaman dahulu. Menurut saya ini super jenius.

Kemudian kisah ini dibuat mengalir serupa sungai, dan saya mulai menemui kejanggalan ketika tokoh Gito bersinggungan dengan seorang kakek (saya lupa namanya, maaf ya) yang mengaku melihat tukang cukur yang tiba-tiba muncul di bawah pohon beberapa hari yang lalu. Ia bertanya pada Gito apakah pernah melihat tukang cukur itu. Katanya tukang cukur itu telah membuat luka dikepalanya. Sampai disini cerita ini saya rasa agak ganjil, dan tidak menunjukkan adanya kesinambungan yang bagus antara bagian ini dengan bagian awal, barangkali ini adalah pembuka dari konflik yang akan terjadi. Dan dugaan itu ternyata tidak dalaj

Kemudian pada suatu hari disekolah Gito kedatangan Guru besar bernama Dasikun, selurah siswa bahkan Guru sekolah itu diwajibkan mengikuti perkuliahan yang Dasikun berikan. Lantas ia berbicara banyak mengenai Rusia, katanya Rusia adalah negara terbaik, apa-apa sudah di atur disana, tata letak kota juga kebersihan. Bahkan katanya di Rusia tidak ada kuda yang berak sembarangan seperti di luar kelas.

Setelah membaca keseluruhan saya takjub cara Budi Darma dalam membuat cerpen. Saya rasa cerpennya sangat padat muatan. Didalam cerpen ini misalnya. Budi Darma memasukkan isu-isu tentang pembantaian yang dilakukan PKI terhadap warga di Kudus. Kemudian bagaimana pasukan Siliwangi memberantas PKI tersebut dengan tidak sopan. Mungkin cerpen yang bagus memang serupa ini. Selalu ada muatan didalamnya entah itu tentang sejarah, renungan, budaya, dan semacamnya. Budi Darma memberikan cerpennya banyak muatan, namun tidak meninggalkan gaya menulisnya yang asik dan terkadang membuat saya tertawa.

Dari sini saya mengerti bahwa menulis serupa Budi Darma membutuhkan waktu untuk banyak berlatih dan banyak membaca, juga belajar tentunya. Mari belajar ya kawan. Semoga kita bisa Istiqomah dalam belajar.

Rabu, 07 September 2016

Mengenal dan Mencintai Bangsa

Saat melihat film-film Jepang entah itu film thriller atau film anime-animenya semisal Naruto, One Piece, Doraemon, dan kawan-kawannya. Pada dasarnya semua memiliki kesamaan ciri. yakni sama-sama menunjukkan bahwa film-film itu berasal dari Jepang.

Sangat menarik, Jepang telah memulai ini lebih awal dari kebanyakan negara lain. Didalam film-film itu termuat banyak fragmen terkait Jepang. Memang ini jarang kita sadari sebagai penikmat film. Namun jika kita perhatikan dengan seksama ada unsur-unsur Jepang yang dimuat didalamnya. Semisal dalam film Doraemon, diceritakan didalamnya bahwa tokoh Doraemon sangat menyukai Dorayaki. Sementara di film Naruto, jika kita amati atau telah mengenal betul dengan film series itu, kita akan mengenal banyak istilah asing yang digunakan sebagai nama jutsu (jurus ninja) atau untuk menyebut hal-hal tertentu. Semisal Sharingan, Susanoo, Kyubi, Ichibi, dan masih banyak lagi. Seperti inilah Jepang mengenalkan dirinya pada dunia. Sebenarnya Dorayaki dalam film Doraemon adalah salah satu makanan khas yang berasal dari Jepang.

Sementara istilah-istilah aneh dalam film Naruto, ketika saya iseng-iseng searching di google. Saya sempat tercengang ketika semua istilah asing itu mempunyai pengertian. Beberapa dari istilah itu adalah legenda tentang suatu kejadian di Jepang. Mungkin kalau di Indonesia itu serupa dengan mitos atau cerita rakyat yang di wariskan dari generasi ke generasi melalui penceritaan lewat lisan. Meski film Naruto tergolong fiksi, Masashi Kishimoto (Pengarang Naruto) membuatnya sebagai karya fiksi yang kaya muatan. Saya yakin dalam pengerjaannya diperlukan riset yang tidak sedikit dan sebentar, sehingga kesan Jepangnya amat sangat kental.

Saat saya mengikuti kuliah umum di salah satu universitas swasta di Lamongan dengan pembicaranya Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Bapak Al Busyra Basnur. Sebenarnya juga mengangkat tema yang sama, yakni ingin memajukan bangsa dengan membuat identitas terlebih dahulu. Atau yang sering kita dengar di berbagai pembicaraan masalah yang sering diangkat yakni cara menciptakan bangsa yang berkarakter. Barangkali yang dimaksud bangsa berkarakter adalah bangsa yang memiliki identitas. Maka cara yang diterapkan Jepang patut kita contoh, yakni cinta terhadap bangsa sendiri adalah hal pertama yang harus kita miliki sebagai warga negara. Baru setelah itu menerapkan langkah-langkah yang dilakukan Jepang.

Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya dengan jumlah pulau kurang lebih 18.000 pulau. Coba bayangkan betapa banyak kekayaan yang masih terpendam didalamnya. Disini yang dimaksud dengan kekayaan, menurut saya tidak hanya hasil bumi seperti emas, timah, minyak dan lainnya itu, yang sering menjadi kasus eksploitasi di berbagai media. Coba kita lihat dari sudut lain semisal budaya atau keadaan alam yang terbentang di Indonesia ini. Jika kita perhatikam dengan seksama, kita akan menemukan banyak hal yang tak akan kita temukan di negara lain. Dari segi makanan, setiap daerah di Indonesia memiliki makanan khas, Lamongan dengan Nasi Boran, Yogyakarta dengan Gudeg, dan tentunya masih banyak lagi. Belum lagi dilihat dari tari, adat istiadat, bahkan cara warganya dalam beraktivitas. Dari situ terlijatlah bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa.

Jika kita memiliki kecintaan terhadap bangsa. Pastinya kita akan merawat serta menjaga budaya-budaya yang dimiliki bangsa sekaligus merawat alamnya juga. Sehingga yang tumbuh dalam diri kita adalah kebiasan untuk membangun bukan malah merusak. Seperti halnya seorang yang mencintai kekasihnya dimanapun atau kapanpun ia akan mengatakan kelebihannya atau membagus-baguskannya didepan  orang lain bukan malah sebaliknya.

Disini, memajukan bangsa bisa diawalai dengan mencintai bangsa terlebih dahulu. Dengan mencintai barulah kita akan percaya diri dan mengenalkannya pada orang lain. Inilah kita. Didalam karya-karya sastra karya pengarang Indonesia saya menemukan banyak tentang Indonesia. Semisal novel Laskar Pelangi yang telah sukses mengenalkan Belitong pada dunia. Sehingga kini Belitong menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan asing. Dan secara tidak langsung itu akan meningkatkan perekonomian daerahnya.

Sebenarnya cara yang dapat kita gunakan untuk membangun dan memajukan bangsa banyak sekali macamnya. tidak usah bingung memikirkan caranya. Apalagi sekarang teknologi informasi sudah menjadi bagian dari keseharian. Semisal media sosial, juga internet. Dengan memposting segala hal yang berkaitan dengan Indonesia entah itu pakaian adat, kebiasaan masyarakat, keadaan alam, dan lain-lainnya. Secara tidak langsung Itu akan membuat dunia mengenal Indonesia dari berbagai sisi.

Disini kegunaan teknologi informasi dirasa sangat penting dalam memegang peranan untuk memajaukan bangsa. Dengan adanya teknologi informasi dalam waktu singkat kita akan mengetahui apa yang terjadi di daerah lain saat itu juga, tak butuh waktu lama. Sehingga kita bisa saling membantu satu sama lain dengan memberikan apa yang kita bisa. Kurang lebih dengan cara itulah kita dapat ikut serta membangun dan memajukan bangsa.[]

Selasa, 06 September 2016

Penyair Jawa Timur: Permohonan Hijau

Menurut saya puisi ibarat sebuah makanan yang dibungkus sebuah wadah yang didalamnya kita tidak tahu ada makanan macam apa, enak atau tidak enak kita tidak tahu. Barulah terasa ketika lidah kita menyentuhnya. Membaca puisi tidak seperti membaca buku-buku lain yang kebanyakan bisa kita duga-duga isinya saat pertama kali membaca judul yang melekat disampulnya.

Sebenarnya saya juga tidak betul-betul mengerti tentang puisi, macam-macamnya, klasifikasinya dan semacamnya itu. Tapi entah mengapa saya benar-benar suka membaca sekaligus menulis puisi. Sudah sekitar satu tahun lebih saya rutin menulis puisi di akun Instagram saya (@fatahanshori1), kawan-kawan boleh mengeceknya jika tidak percaya. Sekalian di follow juga tidak apa-apa hehe... . Baiklah mari saya ceritakan pengalaman saya membaca buku puisi 'Permohonan Hijau'.

Sebenarnya buku ini saya dapat dari teman saya yang kuliah di sastra Indonesia Unair. Ia dengan sukarela menghibahkan buku tersebut di rumah baca yang kita buat bersama-sama. Permohonan Hijau merupakan buku antologi dari delapan belas penyair jawa timur yang terkumpul dalam Festival Seni Surabaya 2003. Saat membaca biografi dari penyair-penyair itu saya sempat tercengang, lantaran sebagian besar penyair-penyair itu lahir di Lamongan, kota kelahiran saya sendiri. Beberapa nama memang asing di telinga saya, namun beberapa yang lain sempat saya ketahui, dan pernah saya baca karyanya yang termuat dalam buku antologi cerpen 'Bukit Kalam' oleh Dewan Kesenian Lamongan.

'Permohonan Hijau' adalah buku antologi puisi kedua yang saya baca setelah buku kumpulan puisi-puisi Cinta W.S. Rendra. Keduanya sama-sama buku puisi, namun memiliki perbedaan rasa yang kentara ketika saya membacanya. Tidak seperti W.S. Rendra yang puisi-puisinya pendek dan sering membuat saya tertawa saat membacanya satu persatu. Di 'Permohonan Hijau' keseluruhan puisinya terkesan dalam, serius, dan membuat saya berkali-kali membaca ulang setiap puisi untuk menemukan makna yang terkandung, atau paling tidak saya mengulang, untuk menemukan kenikmatan membaca puisi.

Buku puisi ini terkesan gelap, ketika membacanya saya seakan-akan di ajak berjalan menelusuri dunia antah berantah yang sama sekali asing. Atau kadang-kadang saya hanya berputar-putar di tempat yang sama lantaran puisi-puisi yang saya baca itu sama sekali tidak masuk di kepala saya. Entah seperti itulah yang saya alami, atau mungkin cara menikmati puisi saya salah.

Tapi ada tantangan dan kenikmatan tersendiri ketika saya dapat memahami puisi-puisi didalamnya. Entah bagaimana, sepertinya saya kesulitan mengungkapkannya dengan kata-kata. Beberapa puisi yang termuat di 'Permohonan Hijau' menggunakan kata-kata yang asing, bahkan ketika saya cari di KBBI saya tak menemukan arti kata itu, semisal rangsum, dan mefosil. Atau mungkin itu nama tempat, atau salah dalam pengetikan saya juga tidak tahu jelasnya.

Beberapa yang lain bahasa yang digunakan terkesan vulgar. Entah mengapa mereka gemar sekali menggunakn kata-kata itu seperti pelir, dubur, payudara, dan semacamnyalah. Pesan saya untuk anak-anak sebaiknya tunggu usia delapan belas dulu baru boleh membacanya, ya!

Meski terkesan gelap, vulgar, asing, saya tetap menyukai buku ini. Sebab saya harus belajar banyak untuk bisa seperti penyair-penyair sekelas Sapardi Joko Damono, Joko Pinurbo, M. Aan Mansyur dan kawan-kawannya itu. Jika penasaran silahkan membaca ya kawan!

Kamis, 01 September 2016

Putu Fajar Arcana: Drupadi

Duka di tahun 1965 ternyata masih menyisakan luka yang mendalam. Itulah yang coba diungkapkan Putu Fajar Arcana dalam buku kumpulan cerpennya: Drupadi. Sebenarnya tidak hanya itu saja. Buku ini dibagi menjadi dua garis besar cerita, yakni tragedi dan reinkarnasi.

Dalam kumpulan cerita yang terangkum di bingkai kisah tragedi, penulis kelahiran Negara, Bali bagian Barat ini mengisahkan kejadian-kejadian kekejaman di tahun 1965 yang sebagian besar mengambil latar tempat di Negara, kota kelahiran penulis sendiri. Barangkali ini juga yang membuat cerita yang ditulis Putu terasa meyakinkan. Membaca cerpennya serasa melihat Negara di tahun yang lampau ditambah pula dengan adat-istiadat yang masih terjadi disana.

Membaca cerita yang terangkum dalam bingkai tragedi. Membuat kita mengerti akan kekakuan pemerintahan. Dalam cerpen yang berjudul 'Daftar Hitam' menunjukkan betapa negara ini dulu memandang 'masa bodoh' dengan apa yang terjadi sebenarnya di masyarakat. Tak ada alasan mengelak bagi warganya dari eksekusi meski menurut pengakuan warga, seseorang dinyatakan tak ada sangkutpautnya dengan partai  illegal itu.

Keseluruhan cerita dalam bingkai tragedi menunjukkan betapa kejamnya pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap suatu partai yang terlarang. Melindungi orang yang masuk daftar buron sama saja dengan menyerahkan diri. Untuk ikut di eksekusi pula.

Sementara, di bagian kedua. Dalam cerita-cerita yang dibingkai dengan judul reinkarnasi, penulis disini mengisahkan kejadian-kejadian yang berbau metafisika, terkait alam roh, surga, juga neraka. Semisal dalam cerpen 'Drupadi' Putu Fajar Arcana memaparkan pada pembaca bahwa adanya kepercayaan seseorang dapat dilahirkan lagi karena harus menebus dosa-dosanya di masa dimana dia hidup dulu. Sehingga dalam cerita tersebut beberapa tokoh lain memperlakukan tokoh itu--reinkarnasi: telah dilahirkan kembali--dengan semena-mena. Dan mereka menganggap itu pantas-pantas saja. Sebab dalam pemahaman mereka itu merupakan hukuman atas kesalahannya di masa lampau.

Jumat, 19 Agustus 2016

Aravind Adiga: The White Tiger


Aravind Adiga penulis India yang mendapat anugerah Man Booker. Itulah yang membuat saya penasaran akan bukunya 'The White Tiger'.

Baru pertamakali saya mendapati novel yang ditulis dengan gaya berce seseorang. Maksud saya begini 'The White Tiger' ini seolah-olahseperti sebuah surat yang hanya ditujukan pada seseorang. Sehingga pembaca merasa dirinya menjadi seseorang itu. Kita bisa mengetahui ini dari cara penulis mengawali novel tersebut dengan cara yang tak lazim yakni:

Kepada

Yang Mulia Wen Jiabao,

...

Kira-kira seperti itu. Metode penulisan novel macam ini baru sekali saya jumpai. Keseluruhan, novel ini ditulis dengan kekayaan metafora dan analogi.Juga kalimat sederhana yang mudah dimengerti. White Tiger mengulas tentang kehidupan seorang anak yang tinggal di India, di kota Laxmangarh sebuah kota gelap yang dibkuasai oleh tiga tuan tanah. Si Bangau, Si Kerbau dan Si Babi Hutan. Ketiga tuan tanah inilah yang menguasai Laxmangarh, kota dimana Balram Halwai di besarkan.

Garis besar kisah ini adalah tragedi pencekikan seorang Bos oleh sopirnya sendiri. Namun tidak sesederhana itu. Penulis memasukkan adat dan budaya yang terjadi di India. Ketika membaca ini kita seolah-olah diajak menelusuri sisi gelap dari India. Seperti adat pernikahan yang memberatkan pihak perempuan, konsep Kandang Ayam yang terjadi di India, juga proses suap perpolitikan. Yang mana pemerintah selalu tunduk pada uang. Sehingga keadilan hanyalah omong kosong. disini kita akan melihat betapa lemahnya hukum terhadap uang. Seseorang yang jelas-jelas bersalah dengan mudah kesalahan itu tidak diperdebatkan.

Balram Halwai, tokoh utama dalam  The White Tiger menyebut-nyebut dirinya sebagai seorang enterpreneur sosial. Yakni seseorang yang berjuang melawan adat atau budaya yang salah terkait sistem perbudakan. Atau boleh disebut juga bahwa ini merupakan upaya pemberontakannya terhadap takdir yang telah diciptakan oleh lingkungan atau adat yang hidup disana. bagaimana mungkin disuatu tempat terdapat pemetaan jalan hidup seseorang. Maksudnya seperti ini di tempat itu jika seorang anak lahir dikeluarga A maka sudah bisa di tentukan nantinya anak ini akan jadi apa. Itulah yang menyebabkan Balram menyebut dirinya The White Tiger, seorang enterpreneur sosial. Ia ingin mengubah pemetaan takdir yang seenaknya di buat oleh lingkungannya.

Disamping itu, Penulis juga mampu menyajikan konflik batin seorang sopir terhadap bosnya. Di imbuhi seting sebuah kota yang gelap. di dalamnya juga di imbuhi segala bentuk kriminal yang terjadi di negara tersebut.

Rabu, 17 Agustus 2016

Bangun Kesiangan

Itukah mukamu setelah bangun kesiangan
Telat sholat shubuh, belum keramas
Bau sandal terbakar, jelek sekali Bocah.

Penuh luka
Bercampur derita
Dimana-mana

Lihat rambutmu, bagai jerami
Di hajar beliung. Jadi manamungkin
Ada anak perempuan suka padamu.

Tapi jika ada pasti dia perempuan baik, jawabku pada diriku sendiri usai sholat Subha, pukul 06.30. (Hari kemerdekaan)

Senin, 15 Agustus 2016

Endonesa

Seharusnya kau harus lebih mafhum
Dari laut yang suka terlihat diam
Serupa gunung-gunung itu.

Bukankah kau lebih dari mereka,
Dimana:

Bibirmu
Tanganmu
Kakimu
Juga kepalamu

Untuk ibumu yang hampir rapuh ini
Aku, Endonesa.(15/8)

Rabu, 10 Agustus 2016

Untain Kesalku

Jangan kau pikir aku cuma benda mati yang tak punyai perasaan. Seenaknya saja kau pangkas sesuka hatimu.

Jangan kau kira aku serupa jelita murahan yang suka keluar malam.
Sesuai panggilan hasratmu, yang terpendam.

Asal kau tau setiap malam, aku melantun doa-doa pada Tuhan. Di sepertiga malam.

Dan kau tahu aku bisa melihat doa-doa ku itu merambat melalui angin. Serupa cicak yang merambat di dinding. Doaku merambat di segala dinding.

Di pohon kelapa yang hampir mati, di angin kemarau yang berembus dingin, di bintang-gemintang yang dapat kau lihat dari jendela kamarmu.

Ia merambat, doaku adalah untaian kesalku padamu. Tukang cukur rambut! Tunggu saja balasan dari-Nya.(11/8)

#prosa #fatahanshori

Senin, 08 Agustus 2016

Lupa?

Di suatu pagi di pinggiran sungai kaki-kaki kecil kita bermain didalam aliran air, kau berbicara banyak. Sehingga aku harus jadi pendengar yang baik.

Katamu di buku yang kemarin kau baca, di sebuah negeri ada anak laki-laki yang lupa diberi nama orang tuanya. Dan kau terheran-heran.

Aku tersenyum, bukankah kau juga lupa memberi nama pertalian kita? Bentakku didalam benak. (9/8)

Minggu, 07 Agustus 2016

Kotak Hibah Pendidikan

Sesuai permintaan ibu-ibu akhirnya kotak "Dana Hibah Prndidikan" tercipta. Begini ceritanya kawan.

Mulanya kami, relawan di Rumaksara mengajak anak-anak yang berkeliaran di sekitar untuk belajar bersama setelah sholat Maghrib. Pertama datanglah tujuh anak, dua tiga hari berselang anak-anak itu mengajak teman-temannya jadilah jumlahnya berlipat-lipat, hingga ruang tamu di Rumaksara menjadi sesak.

Mereka datang dengan niat yang sama sekali tidak seragam. Ada yang datang dengan niat ingin belajar, ada yang datang dengan niat ingin membaca buku, yang mengesalkan anak-anak itu datang dengan niat serupa setan. Semisal mereka datang dengan niat atau tujuan: ingin mengacak-acak rak buku, kedua mengganggu temannya yang khusu' belajar, bahkan ada yang hanya ikut-ikutan saja, tak punya pendirian. Itu membuat kami, para relawan Rumaksara harus banyak bersabar. Kami jadi berpikir jadi guru itu amat sulit.

Diluar dugaan, aktivitas ini merambah ke pelosok kampung, menjadi buah bibir disana sini, di warung kopi, di sekolah TK, du jalan raya, juga di perempatan kampung. Akhirnya malam itu aku terkejut. Beberapa ibu-ibu mengantarkan anaknya untuk ikut less katanya. Dan katanya lagi, bayarnya berapa per bulan Mas. Gratis Bu, kataku sambil tersenyum.

Malam berikutnya, diluar dugaanku lagi, ternyata pagi tadi ibu-ibu itu membuat konferensi mungkin semacam KMB di TK Melati desa sebelah. Setelah lama berdiskusi akhirnya sebuah inisiatif didapat. Dan malam itu seorang ibu berkata padaku diambang pintu, Mas begini saja sampean buat kotak sumbangan biar nanti kami memasukkan seikhlasnya agar dapat digunakan untuk membeli papan, buku dan lain-lain.

Akhirnya barusan tak butuh banyak waktu kotak itu selesai ku buat. Semoga menjadi barokah untuk Rumaksara, itu saja harapan kami. Terimakasih banyak untuk teman-teman yang telah berpartisipasi. Semoga Allah membalasnya secara berlipat-lipat. Amin

Begitulah singkat ceritanya kawan. Atau mungkin cerita diatas sama sekali tidak singkat ya? (7/8)

Sabtu, 06 Agustus 2016

Dulu dan Kini

Dulu kau malu-malu seperti dua anak yang takut tertangkap kamera itu. Berpandang mata saja dulu kau tak sanggup. Katamu, itu membuat nyeri di dada. Dan sesak di kepala.

Namun setelah ku tinggal sebentar. Hanya sekitar satu semester saja tabiatmu telah berubah.

Jangankan hanya berpandang mata. Bertalian ragapun, kau bilang sudah biasa. Aku mendesis, setan mana yang telah menghasudmu?

Sederhana saja harapanku, moga dua anak itu tak serupa denganmu.

Ya sudahlah, paling tidak aku masih punya pengharapan. Meski sederhana.(6/8)

Senyummu yang Tipis

Tiada habis-habisnya
Indah yang kau taburkan
Di toko minuman pinggir jalan
Di layar ponsel yang kau pamerkan

Di raut wajahmu
Semua bersumber
Ibarat taman di surga Adn

Mengalirlah semuanya
Pandangan yang meneduhkan
Senyummu yang tipis
Nan manis

Berkumpul diwajahmu
Yang itu. (7/8)

Selasa, 02 Agustus 2016

Mitch Albom: Have A Little Faith

Mitch Albom menulis dengan sederhana. Dengan pengertian sehari-hari juga dengan analogi yang ringan. Metafora yang enak di pahami. Tanpa disadari tulisan-tulisan Mitch akan membut kita mengakui bahwa Ia adalah penulis yang tak diragukan lagi kepiawaiannya. Ibarat burung Mitch ialah butung yang telah lama menetas, sayapnya kuat, bulunya halus, dan tubuhnya lincah.

Have A Little Faith adalah buku pertama Mitch yang kubaca. Buku ini di tulis dari sudut pandang penulis sendiri ketika ia bersinggungan langsung dengan agama yang Ia yakini. Yakni ketika pada suatu hari Mitch menghadiri Khotbah lantas di minta rabi nya untuk mengucapkan eulogi untuk rabi itu, ketika harinya--rabi itu--telah tiba.

Perkara ini menjadikan Mitch semakin dalam mengenal agamanya. Dari The Reb yang tiap hari ia jumpai.

Dalam buku ini membahas atau lebih tepatnya bercerita banyak tentang bagaimana seseorang memahami sebuah keyakinan yang banyak mempengaruhi hidupnya.

Senin, 01 Agustus 2016

Doa-doa Ibu

Selanjutnya kau akan memandang banyak.
Gurun gersang, gunung terjal,  tembok kokoh, binatang buas.
Di tambah musim yang seperti perempuan,
Sulit dimengerti.

Namun jangan khawatir Nak!
Selalu ada cara untuk mengalahkan mereka.

Ibu akan meniupkan mantra
Dan doa-doa
Dari belakang punggungmu.

Tapi janji, Nak
Sekalipun jangan menoleh kebelakang. (1/8)

Kamis, 28 Juli 2016

Konsep Awal Rumaksara (Rumah Aksara)

Sebagaimana yang kita tahu dalam Al-Quran bahwa kita sebagai umat muslim patutnya senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul qairat). Berbicara tentang kebaikan rasanya didunia ini amat banyak macamnya, barangkali itu berbanding lurus dengan macam-macam keburukan di dunia.

Kurang lebih saya terinspirasi dari kalimat tersebut ketika hendak membuat sebuah wadah perkumpulan bagi teman-teman atau anak-anak kecil didusun saya.

Pada tanggal 25 Juli 2016 kemarin, proyek yang sebenarnya sudah sekitar satu setengahan tahun hanya mengendap sebagai ide, akhirnya dapat terealisasi. Rumaksara kependekan dari Rumah Aksara sudah mulai kami kerjakan sedikit demi sedikit.

Di Rumaksara sekarang baru terkumpul sekitar 50 eksemplar buku, buku-buku itu pun kami dapat dari mengumpulkan berbagai macam buku yang saya punyai. Dan dua hari kemudian teman saya yang bernama Eko Dwi, berkenan menghibahkan buku-buku yang ia miliki dirumahnya.

Sebelumnya kami mengusung konsep Perpustakaan Dusun dalam Rumaksara yang kami dirikan itu, namun ketika telah berjalan beberapa hari. Kami ingin Rumaksara menjadi wadah yang multufungsi, sebagai sumber wawasan, sebagai tempat berdiskusi, bersosialisasi, dan berbagai aktivitas positif lainnya. Seperti misalnya dua malam terakhir, di Rumaksara kami adakan kegiatan belajar bersama.

Saya dan teman-teman selalu berharap agar generasi selanjutnya lebih baik dan lebih baik lagi. Semoga dengan adanya Rumaksara ini Allah meridhoi niat baik kami.

Kamis, 21 Juli 2016

Jam Dinding

Didalam sunyi terkandung puisi
Didalam rahim tertanam nyawa
Diantara kita akan terlahir cinta.

Jam dinding dibelakangku
Yang membisikkannya
Padaku. (22/6)

Sabtu, 16 Juli 2016

Mitch

Mitch ... dulu tulisan-tulisanmu
Adalah laba-laba hitam
Yang mengerikan. Kudiamkan
Dirimu sendiri di rak buku
Paling ujung.

Barangkali dengan cara itu,
Tak ada tangan-tangan yang
Tersengat tulisan-tulisanmu
Yang berbau Yesus, Tuhan Bapa,
Dan semacamnya.

Mitch ... dulu aku ingin menjualmu
Dengan harga semurah Rupiah
Atau menimbunmu bersama tumpukan sampah
Dibelakang rumah.

Seperti yang kita tahu
Jam dinding terus berdetak
... dan benci menjelma kasih

Tanganku meraih kesabaranmu
Menunggu, di ujung rak buku.
Have A Little Faith mu,
Ku baca setiap senggang waktuku.

Ternyata kita punya kemiripan
Sama-sama mencintai sastra
Dan kecantikan kata-kata.(16/7)

__sebagai bentuk apresiasi untuk Mitch Albom.

Jumat, 15 Juli 2016

Menutup Mata

Aku mencarimu di sepanjang jalan Solo
Orang-orang menanggapku gila
Aku tidak peduli

Aku membaca koran, katanya
Engaku di Mangkunegaran, duduk senditian
Aku sudah sampai, penjual koran itu
Berkata, jangan percaya berita di koran

Lantas? Tanyaku dalam hati
Percaya hanya pada-Nya, Nak!
Penjual koran menjawab lewat mimpi.

Kemudian iri merambat di dadaku
Melihat bendera dan tiang bersama
Melihat aspal dan sepatu bercumbu
Melihat langit dan awan mesra
Aku menutup mata. Saja. (15/7)

Rabu, 13 Juli 2016

Pemimpin yang Al Khidmah

Pemimpin adalah al khidmah (pelayan) bagi rakyatnya. Pasti kebanyakan dari kita tidak akan setuju dengan pernyataan tersebut. Apalagi kita yang sedang menyandang gelar sebagai seorang pemimpin. Entah itu Presiden, Gubernur, Rektor, Kepala Sekolah, Kepala desa, Ketua Ormas, dan lain-lainnya. Sepertinya tidak setuju dengan pernyataan bahwa pemimpin adalah al khidmah.

Mana mungkin ada seorang pemimpin yang mau menjadi pelayan. Kalaupun mau, Lantas apa gunanya menteri-menteri atau orang-orang yang jabatannya berada di bawah pemimpin. Apa mereka hanya duduk saja menikmati jabatannya saja. Sehingga yang bekerja hanyalah pemimpinnya. Saya mulanya beranggapan demikian ketika mendapati sebuah artikel yang mengatakan statement tersebut, sebelum tuntas membacanya.

Kemarin siang (13/7) ketika saya berkesempatan untuk mengikuti muktamar Hizbul Wathan ke-3 sebagai penggembira. Yang acara itu diadakan di Solo, saya lantas teringat akan artikel yang dulu pernah saya baca dari sebuah majalah.

Beliau adalah seorang yang sederhana. Sedikitpun tak terlihat sifat congkak apalagi pongah tertanam di guratan wajahnya. Tutur katanya pun lembut, menyejukkan, dan tak ada nada-nada yang sekiranya membuat hati terluka ketika bercakap-cakap dengan Beliau. Wajahnya pun enak dipandang. Bukan karena ketampanan wajah ataupun yang lainnya, yang mirip artis yang tampan-tampan di televisi itu. Namun lebih kerena ketampanan akhlak beliau, sehingga setiap kali memandang wajahnya hati serasa di siram air sumur di pagi hari, aku yakin kalian pun tahu betapa dinginnya air sumur dipagi hari.

Pada mulanya kita berangkat bersama rombongan menggunakan dua bus besar yang berangkat dari Lamongan ke Solo. Sehingga bisa di taksir peserta yang ikut sekitar seratusan orang lebih. Ada anak-anak usia SMP, usia SMA, Mahasiswa, dan sisanya adalah orang-orang dewasa yang sudah menikah.

Siang itu ketika seluruh kegiatan telah usai. Orang-orang yang termasuk dalam rombongan, kembali menuju busnya masing-masing dalam kondisi yang lelah dan perut lapar sebab sejak pagi belum terisi makanan. Dan ketika giliran saya sampai di bus yang saya tumpangi ketika berangkat. Hati saya terenyuh mendapati Beliau sudah berada di bus lebih dahulu, dan tengah membagi-bagikan sebungkus nasi pada setiap orang yang sudah tiba. Ditambah lagi beliau memanggil kami satu persatu tanpa lupa dangan nama kami. Itu menunjukkan kepedulian beliau terhadap orang-orang yang berada disekitarnya. Hafal setiap nama sudah merupakan bentuk perhatian orang lain terhadap kita.

Sebagaimana kita sendiri amat senang ketika nama kita dipanggil seseorang. Apalagi seseorang yang memanggil kita adalah orang-orang yang terpandang. Seolah-olah kita merasa orang itu diam-diam memperhatikan kita.

Kiranya banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari Beliau. Ramanda Rokhim, begitu orang-orang disekitar beliau memanggil namanya. Selalu tercipta suasana kekeluargaan yang tenteram, damai dan harmonis ketika berada didekatnya.

Itulah pemimpin yang al khidmah, pemimpin yang peduli terhadap orang disekitarnya sehingga orang-orang pun nyaman serta betah berlama-lama berada disampingnya. Begitulah contoh pemimpin yang al khidmah bukan serta merta menjadi pelayan dalam artian babu ataupun budak, kasarnya. Melainkan adalah pemimpin yang mau berkorban, mengerti, dan siap mendedikasikan dirinya untuk orang lain.

Seperti kata Kahlil Gibran, pemberian yang sesungguhnya ialah manakala engkau mampu memberikan dirimu untuk orang lain. Kurang lebih seperti itu, jika ditilik lebih dalam pernyataan Kahlil Gibran tersebut juga mengacu pada pernyataan bahwa pemimpin merupakan al khidmah.

Pemimpin yang seperti itu tak akan di rendahkan orang. Malahan ia akan mendapatkan tempat tersendiri di hati orang-orang yang ada di sekitarnya. Sekaligus mendapat tempat tersendiri di hadapan Yang Maha Menciptakan.

Sabtu, 09 Juli 2016

Rumus Jodoh dan Surga di Pinggir Jalan

Aku percaya pada keajaiban
Ku harap kau pun sama.

Rumus yang kita pegang adalah:
Doa + Ikhtiar = Takdir (Berjodoh)

Sudahlah kekasih cukup itu,
Yakinlah nanti kita akan bertemu disurga.

Sebab dimanapun kita bersama, itulah surga.
Juga warung minum pinggir jalan
Tempo hari.

Desaku, 9 Juli 2016

__ku tulis semata-mata akibat buku kumpulan Puisi-puisi Cinta (W.S. Rendra)

Kamis, 07 Juli 2016

Pengakuan Arwah & Doa

Sebelum aku berbicara jauh soal arwah dan doa?

Ada baiknya aku meminta maaf dulu,
Maaf ya kawan!

Sekarang akan kumulai.

Orang-orang suka memainkanku
Seperti anak perempuan memainkan bonekanya.
Aku dibawa ke masjid,
Dibawa ketika genting,
Juga dibawa ke makam,
Katanya aku adalah bahasa yang pantas
Untuk bercakap-cakap dengan Tuhan: aku sebagai doa.

Orang-orang tak suka memainkanku,
Malah aku yang memainkan mereka.
Katanya aku adalah hadiah dari Tuhan.
Gara-gara ulahku mereka mengenal mati.
Aku yang menggunakanmu untuk bercakap-cakap
Dengan Tuhan: aku sebagai arwah.

Entah sejak kapan kita telah menjadi teman.(6/7)

Senin, 04 Juli 2016

Ketapang-Ketapang Teduh

Ternyata namamu tak serumit
Sajak yang ditulis Chairil
Juga tak serumit kisah cinta Sabari

Dari balik jendela lantai tiga,
Aku memandangimu diam-diam.
Kau anggun berdiri setiap
Pagi dan petang tak peduli terik atau hujan datang.

Tanda tanya besar berdengung dikepalaku
Siapakah namamu?

Aku berkelana naik perahu kepulau seberang.
Kata orang disana ada petujunjuk nama mu.
Namun disana hanya ada nisan-nisan kusam yang menancap
Di antara bau-bau anyir.

Berita-berita tentang namamu tak kudapati,
Kemudian aku pulang diusir sunyi.

Aku melihat seekor angsa di sampul buku puisi karangan orang Pontianak.
Dan sebuah lukisan pohon mirip dirimu, tempo hari

Kedua, lengan dan rambutmu yang lebar,
Hijau dan warna senja tertangkap kamera.
Juga dibuku puisi.

Ternyata namamu cukup sederhana:
Ketapang.
Pohon Ketapang yang teduh.(4/7)

__kutulis seperti janjiku dulu.

Aku Tak Bisa Menjadi Avatar

Sudah kubaca referensi tentang perempuan sepertimu.

Namun aku masih tak mengerti,
Lelaki seperti apakah yang kau ingini:

Lelaki angin kah?
Yang bisa mengajakmu terbang
Menyusuri bentangan awan-awan itu.

Lelaki bumi kah?
Yang bisa melunakkan tanah
Agar jika kau terjatuh kau tak pernah merasa sakit.

Lelaki air kah?
Yang berkawan laut dan samudra
Biar kau tahu cerita tentang dunia di dasar sana.

Atau, lelaki api kah?
Yang bisa mengeluarkan api dari ujung jarinya
Agar jika memasak kau tak lagi kesusahan

Atau mungkin kau ingin semuanya.

Maka maaf kekasih, Aku tak bisa menjadi Avatar.(3/7)

Sabtu, 02 Juli 2016

Waktu

Kau adalah lembar-lembar yang sempat kupisahkan, untuk kujual ke para pedagang dengan harga murah.

Berapa harganya bang? Ibu penjual kopi bertanya.

Ganti dengan segelas kopi saja bu. Jawabku santai.

Puluhan tahun kemudian, aku menjadi orang paling menyesal didunia. Manuskrip itu dilelang dengan harga setinggi tiang bendera.

Waktu: jendela rahasia yang mengubah sesuatu.(2/7)

Jumat, 01 Juli 2016

Kenapa Harus Menulis?

Sore itu terpaksa saya tidak pulang lagi. Dua hari telah hilang untuk bisa buka bersama keluarga dirumah. Seorang teman yang kutemui dijalan memaksa saya ikut bersamanya untuk buka bersama tiga orang teman lainnya. Yang kesemuanya itu merupakan teman dekat.

Sesampainya di tempat tujaun. Kami mendapat tempat di atas. Lantai dua yang suasananya amat pas. Desau angin sore bertiup sepoi-sepoi seakan mengusir perasaan tak nyamanku barusan. Tikar-tikar di gelar dilantai, membentuk formasi U. Beberapa tikar telah di tempati anak-anak yang hendak mengadakan acara serupa kami, yakni buka bersama.

Aku memilih tempat di pojok. Suasananya nyaman bila melihat ke Kiblat, dibawah tampak jalan raya yang barusan kami lewati. Jalanan padat menjelang ramadhan akhir. Sambil menunggu orang yang paling krusial alias spesial kami bertiga duduk dan menulis menu makan yang hendak dipesan di kertas semacam nota. Dua teman perempuanku itu terlihat kebingungan memilih makanan.

Tak berapa lama orang yang kami tunggu-tunggu tiba juga. Ia memakai kacamata hitam, rambutnya rapi mengkilap efek dari minyak rambut pomade. Seperti biasanya memakai baju muslim lengan pendek berwarna putih. Dan celana khas pejabat atau orang kantoran, hanya saja dia memakai sandal sore itu. Dua teman perempuanku senyumnya mengembang. Terutama dalah seorang yang kupanggil Mbak. Laki-laki yang baru datang ini merupakan pacarnya. Tentulah wajar jika ia sumringah.

Setelah duduk bersama, kami saling bercanda. Laki-laki itu memang selalu bisa mendamaikan suasana. Membuat orang disekitar merasa tenteram, aman, nyaman. Dan kehadirannya selalu ditunggu-tunggu setiap orang, laki-laki itu adalah laki-laki yang selalu dirindukan kehadirannya-- salah satu ciri orang baik menurut kitab dari segala kitab yakni Al Qur'an.

Setelah duduk sekitar tigapuluhan menit, pesanan kami tak kunjung datang. Hingga cerita dari masing-masing kami hampir mengering. Nostalgia kami pun hampir habis untuk diceritakan. Tikar-tikar disekitar kami kini seluruhnya penuh. Pengunjung kian ramai berdatangan.

Dua teman perempuanku memutuskan untuk sholat dulu. Sementara ditempat tinggal aku dan lelaki itu, berdua saja. Tentunya seperti biasa, obrolansku selalu seputar buku.

"Setiao orang yang telah menjadi penulis punya tujaannya masing-masing. Asma Nadia misalnya, ia menulis karena katanya, 'jika kau yakin belum menggenggam pintu surga maka menulislah'. Sepertinya itu yang belum kita punyai.", Ujar laki-laki itu padaku malam itu.

Itu semacam pertanyaan yang amat sulit dan tak bisa ku jawab malam itu. Isi kepalaku seolah telah kuaduk namun tak kudapati jawabannya. Ini menjadi semacam PR dikepalaku dan harus lekas kujawab jika tak mau terterror. Jadilah pertanyaan itu semacam oleh-oleh tersendiri untukku.

Paginya aku teringat blog Bernard Batubara dan Eka Kurniawan yang kubaca kemarin sore. Mereka berdua adalah penulis kawakan yang bukunya telah beredar di toko-toko buku besar semacam Gramedia. Akupun memimpikannya, semoga kelak bukuku beredar disana pula. Bersanding buku-buku mereka.

Mereka berdua itu, senantiasa menuliskan apa saja diblog mereka. Tentang ulasan sebuah buku, cerpen, puisi, dan macam-macamnya. Aku benar-benar ketagihan membaca tulisan-tulisan mereka. Dan benar banyak ilmu yang kudapat dari membaca tulisan-tulisan mereka. Meskipun bagi sebagian orang itu sepele. Namun bagiku tidak.

Itulah jawabannya. Aku menulis karena aku ingin berbagi, aku menulis karena ingin menyampaikan, serta sebagai amal jariyah, ilmu yang bermanfaat. Setiap tulisan akan dirasakan beda pada tiap pembacanya. Ada orang yang suka juga ada orang yang tidak suka. Menurutku itu wajar-wajar saja. Namun yang jarang kita ketahui dari banyak yang tidak suka tulisan kita selalu ada orang suka. Itulah tujauan yang sebenarnya. Untuk berbagi dan untuk memberi.

Sebagaimana layaknya orang baik kita senantiasa dituntut untuk banyak memberi dan banyak berbagi. Dari tulisan-tulisan itulah saya memberi pada para pembaca. Dan selalu berdoa semoga Allah memberi manfaat pada tulisan-tulisan saya yang jauh dari sempurna itu.