Sabtu, 28 Januari 2017

Perjalanan dan Pertumbuhan Saya

Dari mana datangnya anak kecil ingusan seperti saya yang dengan lancang berani menulis buku yang saya sebut dengan percaya diri, itu sebuah novel. Pertamakali saya menulis, saya adalah anak kecil yang tak mempunyai rasa takut dan terlalu banyak memiliki keberanian.

Andrea Hirata lah yang mengajari saya tentang menulis itu, hingga akhirnya saya menulis novel saya sendiri. Tanpa rasa takut dan menganggap gampang semuanya, tidak tanggung-tanggung novel saya itu memiliki 338 halaman. Itu cukup tebal dan benar-benar melelahkan untuk di baca. Seorang teman mengatakan pada saya bahwa rasa tulisannya, rasa Andrea Hirata.

Wajar saja, saat itu saya baru mengenal Bang Andrea, sebagai penulis paling top dan tak ada duanya. Sehingga tak tanggung-tanggung saya menghabiskan ke delapan bukunya selama proses menulis novel saya yang pertama itu, barangkali ini semacam pencarian referensi menulis novel. Sehingga akhirnya sedikit banyak, di sudut-sudut novel saya, aroma atau gaya Bang Andrea yang khas nampak di sana sini. Barulah di kemudian hari, saya mengerti kebanyakan penulis pemula melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan, dan tekhik itu di sebut banchmarking. Jika tidak salah itu istilahnya, maaf saya agak lupa-lupa ingat.

Kemudian selama perjalanan menulis saya terus membaca dan membaca, kemudian mengenal A. Fuadi, Tere Liye, sedikit berbelok pada buku-buku Non fiksi saya berkenalan dengan Agus Mustofa dan ilmu-ilmu tasawufnya yang membuat saya kagum dan sedikit banyak mengerti tentang agama, masih dalam ranah agama saya berkenalan dengan Ahmad Rifa'i Rifan, M Husnaini, Irvan Syaifullah yang ternyata dan patut saya syukuri adalah orang-orang Lamongan. Dari merekalah saya mengenal lebih dalam tentang agama saya sendiri. Dan melalui Pak M Husnaini saya dipersilahkan masuk dalam grup kepenulisan SPN yang beranggotakan orang-orang besar beliau adalah Pak Hernowo, Pak Much. Khoiri, Pak Ngainun Naim, Prof. Muhammad Chirzin, Mas Haidar Musyafa. Dan orang-orang hebat yang jago dalam kepenulisan di genre-nya masing-masing.

Di grup SPN itulah beberapa tulisan saya termuat dan di terbitkan dalam buku-buku antologi. Tidak berhenti di situ saya, menjamah majalah dan koran-koran. Disanalah saya mulai merasa kecil, tidak berarti, bukan siapa-siapa, tidak tahu apa-apa, tapi terkagum-kagum pada nama-nama hebat yang berhasil mencantumkan namanya di sebuah koran. Itulah yang membuat saya bertahan hingga kini. Dan mengenal nama-nama besar seperti A.S Laksana, dan Murjangkung-nya yang berisi cerpen-cerpen hebat yang pada waktu itu membuat kepala saya puyeng tidak bisa mencerna itu cerita apa. Lalu sekaligus berkenalan dengan Bernard Batubara, dengan cerpen-cerpen nya yang saya rasa bernuansa kontemporer, Fantasi, surealis, seperti yang berada di bukunya, Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri, juga Metafora Padma. dan membuat saya pada akhirnya harus belajar banyak darinya tentang cara-cara menulis fiksi dan ulasan-ulasan buku.

Saya rasa disini saya harus berhenti sejenak dan mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya pada bang Bara. Yang telah membuka pintu dan mengenalkan saya pada penulis-penulis lainnya. Seperti M. Aan Mansyur, Faisal Oddang, Eka Kurniawan, Etgar Keret, Haruki Murakami, Budi Darma, Mahfud Ikhwan, dan masih banyak lagi. Namun setelah mengetahui nama-nama besar itu, pada akhirnya akan membuat saya menatap diri saya sendiri dan bertanya, sudah pantaskah nama saya di tulis diantara nama-nama besar itu?

Lalu tanpa menjawab pertanyaan konyol itu, pada akhirnya saya akan kembali membaca buku-buku, istirahat sejenak, membaca buku-buku lagi, lalu menulis agar kelak bisa seperti mereka. Dan entah mengapa saya terlalu ambisius ingin seperti mereka. Dan pada akhirnya, yang paling akhir saya akan berdoa semoga Allah meridhoi keinginan saya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar