Selasa, 31 Mei 2016
Amanah Bukan Beban
semua itu karena aktivitas di kampusku yang terlalu padat mulai dari kuliah yang seperti SMA mulai senin hingga sabtu, diluar itu baru kegiatan ekstra kampus atau yang akarab di sebut UKM. semua harus aku lakoni satu persatu, sebab usai dilantik sebagai pengurus BEM tugasku tidak lain adalah menghidupi kampus, dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa.
Namun disini jabatanku hanyalah sebagai Menteri Seni budaya dan Olahraga, tugasku tidak lain adalah memfasilitasi UKM-UKM olahraga seperti futsal, bola volly, paduan suara, teater, serta masih banyak lagi. namun diluar itu jabatan yang tidak mungkin ku lepaskan begitu saja tanpa tanggung jawab adalah UKM Hizbul Wathan, karena kesepakatan teman-teman aku terpilih untuk kedua kalinya menjabat sebagai Ketua UKM HW.
jika menurut kalian aku serakah jabatan, atau mungkin kalian berpendapat kalau itu bukan apa-apa silahkan saja. aku hanya menganggap semua itu sebagai amanah yang harus di emban, dan aku selalu membagi diriku menjadi beberapa bagian untuk kudedikasikan disemua lini itu.
Kamis, 12 Mei 2016
Jendela-jendela Dunia
Rabu, 11 Mei 2016
Nothing is Imposible
Saya setuju jika kata 'tidak bisa' itu dihancurlenyapkan saja dari benak kita. Kenapa saya bilang begitu? Sebab sedikit banyak dua kata tadilah yang menyebabkan potensi-potensi besar kita terhambat.
Iya kawan, sekali lagi saya tekankan 'potensi besar' kenapa? Karena kita tidak tahu seberapa besar potensi yang telah di tanam oleh Sang Maha Pencipta dalam diri kita. Kita tidak tahu bahwa kita berpotensi menjadi pemain bola terkenal, menjadi penyanyi hebat, menjadi pengarang besar, atau menjadi tokoh-tokoh besar lainya.
Beberapa hari yang lalu saya sempat berdiskusi dengan teman saya terkait ini. Kita berbicara banyak tentang tokoh-tokoh besar dunia. Kita juga sama-sama tidak tahu mengapa mereka bisa menjadi seperti itu. Namun kita sama-sama setuju ketika pernyataan ini mencuat 'mungkin karena mereka berani mencoba, tak pernah takut dengan kegagalan, dan selalu menantang ketidakpastian.'
Kalau boleh jujur kawan, ketika menggarap novel saya yang pertama: Ilalang di Kemarau Panjang--entah itu boleh disebut novel atau tidak sampai sekarang saya sendiri tidak tahu--sedikitpun saya tak punyai pengalaman menulis puisi, cerpen, atau semacamnya itu terkait karya sastra. Namun ketika itu rasa percaya diri saya membuncah-buncah bagai lumpur Lapindo, liar tak terbendung, kawan.
Bekal saya saat itu hanya percaya diri, keberanaian, serta tak ada kata lelah untuk terus belajar. Selama satu tahun setengah, saya rela menyisihkan uang saku untuk beli buku yang mahal-mahal itu. Rela pulang kuliah paling akhir untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, juga rela tidur jam 12 malam dan bangun jam 3 dini hari. Tentu saja untuk menyelesaikan buku solo pertama itu.
Sumpah, ketika itu yang di kata orang berat, saya lalui dengan terseok-seok namun tetap senang. Itu Lantaran di depan saya seolah impian selalu memanggil saya.
Alhasil, di tahun 2015 terbitlah novel itu. Perasaan gembira bukan main rasanya. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Namun tak berhenti disitu, selama proses penulisan itu seolah ada yang membimbing saya. Ada yang menunjukkan caranya. Sehingga setiap hari kekurangan demi kekurangan itu nampak dan itulah yang menyebabkan saya senantiasa belajar, belajar dan belajar terus.
Luar biasa kawan, jadi sekali lagi, kita tak pernah tahu potensi besar apa yang tertanam dalam diri ini. Apalagi selalu kita halang-halangi dengan statement 'tidak bisa' yang mengakar erat di kepala. Meskipun terlihat sepele namun kenyataannya semuanya berawal dari pikiran. Jika pikiran kita sehat insya Allah perilaku kita juga sehat. Jika pikiran kita berkata bisa insya Allah kenyataan nya juga bisa. Maka tidak salah jika saya berkilah, "nothing is impossible!"
Sabtu, 07 Mei 2016
Sepanjang Hari
Aku ingin mencintaimu seperti siang,
Selalu memberimu semangat hidup.
Atau seperti malam,
Yang selalu memberimu kedamaian.
Sepanjang hari,
Selalu terulang dan terulang terus.
Rabu, 04 Mei 2016
Mengapa Kaum Muslimin Tidak Berdaya ?
Oleh Ahmad Fuady
Mengapa kaum Muslimin begitu tak berdaya? Sebaliknya, kaum Yahudi begitu perkasa? Inilah email yang pekan lalu saya terima dari Prof Salim Said yang kemudian diteruskan banyak orang lain kepada saya.
‘Why are Jews so powerful?’ Ini adalah tulisan Dr. Farrukh Saleem, direktur eksekutif Pusat Riset dan Kajian Keamanan, Islamabad, Pakistan, yang juga kolumnis di berbagai media. Dalam catatan Saleem, kini terdapat sekitar 14 juta orang Yahudi di dunia: tujuh jutaan di Benua Amerika, lima jutaan di Asia, dua jutaan di Eropa, dan 100 ribuan di Afrika.
Pada pihak lain, ada 1.476.233.410 jiwa Muslim di muka bumi: satu miliaran di Asia, 400 jutaan di Afrika, sekitar 44 juta di Eropa, dan enam jutaan di Benua Amerika. Jadi, satu di antara lima manusia beragama Islam; setiap satu Hindu atau Buddha ada dua Muslim; dan setiap satu Yahudi ada 100-an Muslim. ‘Ever wondered why Muslims are so powerless?’ Tulis Saleem.
Lihat saja fakta berikut: Figur sangat berpengaruh semacam Yesus [Kristus] dari Nazareth adalah Yahudi. Albert Einstein, Sigmund Freud, dan Karl Marx. Begitu juga sederetan nama yang ikut meningkatkan kesejahteraan manusia seperti Benjamin Rubin penemu jarum suntik, Jonas Salk penemu pertama vaksin polio, Alert Salin pengembang vaksin polio, Gertrude Elion pengembang obat leukemia, dan Baruch Blumberg pengembang vaksin hepatitis B. Hasilnya, dalam 105 tahun terakhir, 15 ilmuwan Yahudi memenangkan Hadiah Nobel, sebaliknya hanya ada tiga pemenang beragama Islam.
Masih banyak inventor lain di kalangan Yahudi. Misalnya, Stanley Mezor penemu micro-processing chip, Leo Szillard pengembang reaktor rangkaian nuklir, Peter Schulz penemu kabel fiber optik, Charles Adler penemu lampu lalu lintas, Benno Strauss penemu besi tanpa karat, Isador Kisee penemu film suara, Emile Berliner mikrofon telepon, dan Charles Ginsburg, perekam videotape.
Juga ada financiers Yahudi di dunia bisnis seperti Ralph Lauren (Polo), Levis Strauss (Levi’s), Howard Schultz (Starbuck’s), Sergey Brin (Google), Michael Dell (komputer Dell), Larry Ellison (Oracle), Donna Karan (DKNY), Irv Robbins (Baskins & Robbins), dan Bill Rosenberg (Dunkin Donuts). Lalu, filantropis semacam George Soros yang mendonasikan empat miliar dolar AS dan Walter Annenberg yang menyumbang dua miliar dolar untuk ratusan perpustakaan.
Figur Yahudi juga mencakup Richard Levin (Presiden Universitas Yale), Henry Kissinger dan Madeleine Albright (keduanya mantan Menlu AS), Alan Greenspan (ketua The Fed masa presiden Reagan, Bush, Clinton, dan Bush), Caspar Weinberger (menhan AS), Maxim Litvinor (menlu Soviet), David Marshal (chief minister pertama Singapura), Issac Isaacs (gubernur jenderal Australia), Benjamin Disraeli (negarawan Inggris), Yevgeny Primakov (PM Rusia), Jorge Sampaio (presiden Portugal), John Deutsch (direktur CIA), Herb Gray (deputi PM Kanada), Pierre Mendes (PM Prancis), Michael Howard (mendagri Inggris), Bruno Kresiky (kanselor Austria), dan Robert Rubin (menteri perbendaharaan Negara AS).
Bahkan, Hollywood didirikan orang Yahudi. Bintang film terkenal keturunan Yahudi termasuk Harrison Ford, Tony Curtis, Charles Bronson, Sandra Bullock, Billy Christal, Woody Allen, Paul Newman, Peter Sellers, Dustin Hoffman, Kirk dan Michael Douglas, Ben Kingsley, dan Goldie Hawn. Lalu, sutradara dan produser film Steven Spielberg, Mel Brooks, Oliver Stone, dan Aaron Spelling.
Dengan begitu, tidak heran kalau bangsa Yahudi sangat berpengaruh dalam banyak bidang. Ditambah lobi Israel dan lobi Yahudi yang kuat di berbagai negara Barat, pengaruh Yahudi dalam ekonomi dan politik global sulit tertandingi.
Mengapa kaum Muslim tak berdaya? Saleem memberikan dua kesimpulan saja: Dunia Muslim kurang memiliki kapasitas untuk menghasilkan iptek; dan gagal melakukan difusi iptek. Terdapat kepincangan amat mencolok dalam bidang pendidikan. Di seluruh 57 negara anggota OKI hanya ada sekitar 500 universitas; sedangkan India ada 8.407 dan AS punya 5.758 universitas. Tidak ada universitas di dunia Muslim yang masuk 500 universitas terbaik ‘Academic Ranking of World Universities’ versi Shanghai Jiao Tong. Hasilnya, hanya ada 230 ilmuwan per satu juta Muslim; sedangkan AS 4.000-an dan Jepang 5.000-an.
Memang, pendidikan di dunia Muslim jauh tertinggal. Sebagian besar karena keadaan ekonomi dan keuangan yang tidak memadai, sehingga gagal menyediakan pendidikan berkualitas sejak tingkat dasar sampai tinggi. Sedangkan beberapa negara Muslim kaya penghasil minyak tidak memprioritaskan pendidikan; banyak dana dihamburkan untuk anggaran pertahanan dan proyek mercusuar seperti gedung tertinggi di dunia.
Indonesia dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia masih berkutat dengan usaha peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan. Meski 20 persen anggaran pusat dan daerah sudah diabdikan untuk pendidikan, sebagian besar pendidikan masih bermutu rendah. Sementara itu, sekolah dan universitas bermutu kian sulit terjangkau karena biaya kian mahal. Jika Indonesia ingin merebut posisi terdepan dalam pendidikan di Dunia Muslim, pembenahan pendidikan mesti benar-benar menjadi prioritas pokok.
Seorang penulis milis MF menyatakan, kenyataan ini adalah “ironi, karena lima ayat surah al-‘Alaq yang pertama kali diterima Rasulullah SAW yang didahului perintah ‘Iqra’ tidak berdampak luas dalam kehidupan [umat] Islam”.
Menyangkut akselerasi pendidikan dan pengembangan iptek, adalah keniscayaan bagi kaum Muslim mengembangkan keterbukaan pada sumber iptek dari mana pun. Ini berarti meniscayakan pula penghilangan sikap apologetik, defensif, dan reaktif dari sebagian Muslim yang masih sangat mencurigai segala macam iptek yang bersumber, misalnya, dari Barat.
Kalangan Muslim seperti ini seolah melupakan sejarah kemajuan iptek di tangan ilmuwan Muslim di masa klasik yang bersumber dari sikap keterbukaan menerima dan mengkaji berbagai sumber iptek untuk kemudian mereka kembangkan menjadi iptek universal yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan kemanusiaan.
Dalam kaitan itu, kaum Muslim patut mengembalikan rasa percaya diri. Karena sering ada kecurigaan berlebihan bersumber dari kekhawatiran dan ketakutan berlebihan, akhirnya menimbulkan mentalitas tertutup dan bahkan ‘mentalitas terkepung’.
Akan tetapi, ketidakberdayaan kaum Muslimin tidak hanya terutama bersumber dari keterbelakangan pendidikan. Ketidakberdayaan itu juga terkait dengan berbagai realitas lain Dunia Islam, terutama dalam bidang politik, sosial, budaya, dan bahkan pemahaman keagamaan. Karenanya, usaha mengatasi ketidakberdayaan kaum Muslimin mesti juga melibatkan pembenahan dan perbaikan ke adaan sehingga dapat memberikan kondisi kondusif bagi pemberdayaan dan pemajuan kaum Muslimin dalam berbagai bidang.
Ketidakberdayaan kaum Muslimin sangat terkait dengan kondisi politik yang kacau di banyak bagian Dunia Muslim sejak masa kolonialisme Eropa sampai sekarang. Kekacauan politik itu dalam batas tertentu berhubungan dengan ketidakadilan tatanan politik internasional, seperti terlihat di Timur Tengah menyangkut konflik Palestina-Israel, dan pendudukan sekutu yang terus berlanjut di Irak dan Afghanistan.
Tetapi jelas, kekacauan politik terutama bersumber dari kegagalan banyak negara Muslim membangun sistem politik yang viabel—mampu bertahan karena dapat diterima masyarakatnya sendiri sebab demokratis, misalnya. Namun, yang terjadi di banyak negara Muslim, realitas politik adalah otoritarianisme militer dan sipil yang berkuasa sangat lama, amat korup, yang hampir tidak memberikan ruang bagi warga negara bersuara. Indonesia pernah memiliki pengalaman seperti ini di masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sebelum kemudian tumbang lewat peristiwa yang melibatkan kekuatan rakyat dan pertumpahan darah.
Di banyak negara Muslim lain, situasi politik kacau masih terus berlanjut sampai kini. Meski kekuasaan otoritarianisme Ben Ali (Tunisia) dan Husni Mubarak (Mesir) telah ditumbangkan kekuatan rakyat, pergulatan politik masih berlangsung. Bahkan, pertumpahan darah terus terjadi di Syria dan Yaman, yang bukan tidak mungkin menular ke negara-negara Muslim otoriter lain di Dunia Arab.
Instabilitas politik dan kekerasan berdarah juga terus terjadi di Afghanistan, Irak, dan Pakistan. Bahkan, Malaysia yang bagi sebagian orang menjadi ‘model’ stabilitas politik dan kemajuan ekonomi, juga menerapkan politik totaliter represif seperti terlihat dalam demonstrasi menuntut Pilihan Raya yang bersih dan jujur.
Kekacauan politik di negara-negara Muslim ini, terutama disebabkan—meminjam istilah Buya Syafii Maarif—‘syahwat po litik’ yang nyaris tidak terkendali, baik pa da level kepemimpinan puncak maupun elite politik lain. Ketika beberapa negara Muslim menjadi demokrasi, seperti Indo nesia, syahwat politik itu menghinggapi hampir seluruh elite politik di tingkat na sional maupun lokal. Lebih celaka lagi, syah wat politik itu bercampur dengan ‘syah wat ekonomi’ yang juga tidak terkendali sehingga menimbulkan wabah korupsi.
Dalam situasi politik dan ekonomi koruptif seperti itu, bagaimana mungkin kaum Muslimin bisa berdaya? Sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan banyak barang tambang lain tidak diabdikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi sebaliknya guna kepentingan politik rezim berkuasa. Lebih parah lagi, situasi kacau—ketiadaan stabilitas politik dan ekonomi koruptif—membuka ruang besar bagi infiltrasi dan penetrasi kekuatan asing yang membuat keadaan kian kacau.
Karena itu, dalam konteks pemberdayaan Muslimin, agenda paling pokok adalah membenahi rumah tangga sendiri, membangun sistem politik demokratis yang viabel dan ekonomi yang bersih dari korupsi, serta pembangunan yang berpihak kepada pemberdayaan warga. [ Azyumardi Azra ].
DI MANA-MANA
Catatan Pinggir Goenwan Mohamad�
DI MANA-MANA
Tuhan semakin banyak....
Sajak-sajak Mustofa Bisri tak pernah dibangun dari statemen yang marah. Puisi itu bahkan bisa kocak. Lebih sering bait-baitnya gundah -- kegundahan yang menarik: seorang alim melihat keadaan rumpang di sekitarnya tanpa ia merasa jadi lebih suci dari sekitarnya itu. Tiap kali sajak penyair dan kiyai dari Rembang ini mengandung kritik sosial, tiap kali ia serasa ditikamkan ke satu bagian hidupnya sendiri.
"Tuhan semakin banyak" mengemukakan satu paradoks zaman ini: makin sering Tuhan dipajang di pelbagai laku dan kata-kata, makin jauh Ia dari bumi. "Aku" manusia telah menggantikan-Nya:
Di mana-mana tuhan, ya Tuhan
Di sini pun semua serba tuhan
Di sini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas
Tuhan pun jadi "tuhan" (dengan "t"): bukan saja hanya jadi salah satu dari wujud di dataran benda-benda, tapi juga hanya sebuah bunyi yang diulang-ulang. Tuhan jadi banal. Iman jadi otomatik. Bersamaan dengan itu, "Aku" manusia menggantikannya dalam posisi di depan.
Khutbahku khutbah tuhan!
Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama’ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan
Tentu saja ada perbedaan yang radikal antara "Akuku aku Tuhan" di akhir sajak itu dengan ekspresi mistik manunggaling kawulo gusti. Pengalaman seorang sufi adalah pertalian cinta; sajak Mustofa Bisri menunjukkan sebaliknya: Tuhan dipasang sebagai alat, mirip stempel. Dan puisi ini mencatatnya dengan masygul.
Tuhan yang "semakin banyak" yang disebut Mustofa Bisri agaknya seperti dewa-dewa Yunani dalam Illiad: mereka ikut intervensi dan bertikai dalam hampir tiap babakan Perang Troya. Atau mungkin yang terjadi sebaliknya: dalam perang yang bengis itu, para pelakunya ingin memindahkan tanggungjawab dan kesalahan kepada kekuatan di luar diri mereka -- kekuatan yang digambarkan sebagai mutlak dan bebas dan bisa berbuat tak semena-mena. Dan itulah dewa-dewa mitologi Yunani.
Roberto Calasso, yang beberapa novelnya adalah tafsir baru atas mitologi, menulis dalam La letteratura e gli dèi ("Sastra dan Para Dewa") bahwa sastra dapat merupakan siasat halus untuk membawa dewa-dewa lepas dari tempat mereka yang aman, bersih, dan kekal -- dari "klinik universal" (clinica universale) mereka. Sastra "mengembalikan mereka ke dunia, untuk diserakkan ke permukaan bumi, tempat mereka biasanya berdiam."
Dengan kata lain, sastra, karena tak meletakkan diri sebagai Kitab Suci, bisa membuat yang sakral jadi bagian hidup sehari-hari, bersentuhan dengan segala macam hal, termasuk yang terbuang, najis, dan kurang patut. Tapi biarpun terserak di seantero muka bumi, yang suci tetap tak jadi profan dan banal, selama ia tak dijadikan alat manusia seperti "tuhan" dalam sajak Mustofa Bisri.
Ada sebuah petuah agar kita membuat iman ibarat garam: sesuatu yang tak nampak namun meresap memberi corak, membubuhkan rasa tanpa berlebihan dan sebab itu tak membuat berat atau heboh dalam perjalanan.
Novel Ahmad Fuadi, Negeri Lima Menara, adalah contoh yang baik bagaimana iman selamanya hadir tak kurang dan tak berlebihan -- dan sebab itu tak berbenturan dengan kehidupan, bahkan ketika kehidupan berpindah dan berubah.
Novel ini sebuah rekaman rite of passage Ali Fikri, seorang anak muda Sumatra Barat. Ia selalu murid yang pintar sejak di madrasah tsanawiyah di Kabupaten Agam sampai dengan ketika ia belajar di Pondok Gontor, di Jawa Timur. Ia sebenarnya ingin masuk SMA, tapi pesan Amaknya yang ia cintai menahannya untuk tetap berada di jalur pendidikan agama. Sesekali ada kebimbangan, tapi Ali Fikri menyukai kehidupan di pesantren itu -- yang sebenarnya tak terpisah dari Indonesia yang 'modern'. Di sana ia juga bertemu dengan fragmen-fragmen dunia lain. Ia tak gentar mengalami beda dalam dirinya. Pesan Kiai Rais selalu dikenangnya: "Jangan berharap dunia yang berubah, tapi diri kita lah yang harus berubah."
Maka dalam novel ini tak terasa ada guncangan dan krisis, ketika kesalihan kota kecil Indonesia bertaut dengan modernitas "Barat". Awal cerita di dekat Gedung Capitol yang diselimuti salju di Washington DC; akhir cerita: di bawah monumen Nelson di Trafalgar Square, London. Negeri Lima Menara dibuka dengan kata-kata Imam Syafi'i di abad ke-8 yang diajarkan kepada para murid Pondok Gontor: "Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih..."
Yang dirayakan gerak dan perjalanan. Tuhan sudah dengan sendirinya menyertai, tanpa, dalam kata-kata Mustofa Bisri, "mendominasi lalu lintas."
Dari Catatan Pinggir, TEMPO, 7 Mei 2016
Selasa, 03 Mei 2016
Bacalah Buku, Jika Tak Mau Malu
Orang-orang congkak, mengira bahwa dirinya paling pintar, paling kaya, paling tampan, dan paling-paling lainnya yang selalu berlagak sok-sok an--istilahnya anak muda sekarang--di depan umum itu adalah tanda-tandanya orang yang kurang baca saja.
Orang-orang macam ini sekarang jumlahnya tidak langka, malahan membludak di sembarang tempat dari pasar klontong hingga istana negara, dari kampung hingga kota besar. Mereka berceceran tersebar disembarang tempat di negeri ini.
Dan pasti ketika melihat wajah mereka, aku yakin kalian pasti akan muak dan segera memalingkan wajah atau paling tidak memandang sebelah mata pada mereka. Sebab mereka merasa dirinya punya power yang berlebihan, punya kuasa, punya uang, punya tangan-tangan tak terlihat, ini biasanya pejabat pemerintahan.
Sementara lain lagi dengan yang congkak lantaran merasa ilmunya paling tinggi sebab dirinya telah kuliah di berbagai jurusan dan menamatkan macam-macam gelar kesarjanaan yang ingar bingar itu. Tapi entah bagaimana prosesnya, apa lewat jalur yang halal atau haram saya sendiri kurang tahu. Sehingga tabiat orang-orang demikian, jika berpidato omongannya tak putus dan sungguh membosankan, tak bisa di ajak tukar pikiran, dan satu lagi suka menutup telinga, benci akan kritik dan saran.
Sudah biarkan orang-orang macam itu. Memang ketika kita menutup pandangan, pikiran, pendengaran, kita tak lebih dari katak didalam tempurung saja. Seperti kata dosenku tempo hari bercerita. Setiap ada penderitaanpun orang yang sombong akan berasumsi bahwa Tuhan memberi cobaan yang terlalu berat pada kita, dan merasa seolah tak ada orang di dunia ini yang menderita seberat yang ia rasakan. Begitulah kiranya. Kawan boleh renungkan sejenak terkait perkara itu.
Namun ketika kita tidak berlagak sombong. Mau membuka pandangan, pemikiran, serta mau mendengarkan suara-suara disekitar kita. Tunggu kalian akan tertegun mendapati kebenaran, bahwa diatas langit masih ada langit. Diatas orang pandai masih ada orang pandai lagi. Di bawah orang menderita masih ada orang menderita lagi.
Panggil saja Ia M. Fikri Mabruri, siswa SMK yang berjualan bakwan menggunakan gerobak yang diboncengnya tiap kali berangkat ke sekolah. Katanya ia ingin sekolah sambil bekerja, untuk meringankan beban orang tuanya. (Baca: Semangat Siswa Belajar Sambil Berdagang) ia tidak malu dengan itu, dan tetap berusaha untuk menamatkan bejarnya.
Berita barusan saya dapat usai membaca koran Kompas, 3 Mei 2016. Sebelumnya saya menganggap tak ada penderitaan seberat yang saya rasakan. Namun ketika tahu ada anak yang seperti itu. Dalam benak saya berkata kita ini belum apa-apa. Maka kawanku jangan lantas menjustice suatu pernyataan dulu. Bukalah jendela-jendelamu dulu baru boleh berasumsi. Paling tidak bacalah buku dulu kawan, jika tidak ingin ditertawakan. (4/5)