Sabtu, 12 November 2016

Afrizal Malna: Berlin Proposal

Berkunjung ke negara orang lain barangkali adalah sebuah keterasingan yang luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana runyamnya. Mulai dari adat yang sama sekali berbeda, lingkungan tempat yang kita tinggali, rumah yang kita huni, tetangga sekitar, dan yang paling krusial barangkali adalah bahasa. Semuanya seketika menjadi berbeda.

Itulah barangkali yang di ibaratkan Malna seolah dirinya berubah menjadi serangga Kafka dengan keterasingan bahasa yang di milikinya. Ia merasa bahasa ibunya kehilangan kekuatan dan fungsi untuk mengungkapkan sebuah makna. Sehingga kondisi tersebut memaksanya untuk menggenggam bahasa baru seperti yang dia katakan dalam salah satu larik puisinya.

Berlin Proposal adalah buku kumpulan puisinya yang ia tulis saat sedang mengikuti artis residen DAAD di Berlin selama 1 bulan di tahun 2012. Kemudian di lanjutkan 1 tahun dari 2014-2015.

Pertama kali saya mengenal nama Afrizal Malna adalah dari tulisan dan puisi-puisinya yang di muat di litera.co.id. kemudian di IG seorang penyair muda Al Fian Dippahatang saya melihat ia berfoto dengan Afrizal Malna. Barulah setelah itu saya penasaran dengan dia. Dan akhirnya saya menemukan buku kumpulan puisinya Berlin Proposal.

Jujur ketika membaca puisi-puisi Malna di Berlin Proposal saya menemukan ketidakpahaman yang luar biasa. Namun di balik ketidakpahaman itu saya menemukan diri saya tergoda untuk terus membaca dan membacanya hingga tandas di lembar terakhir.

Subyektifitas Malna di buku ini seolah sangat kuat sekali. Seperti yang saya ketahui pada dasarnya puisi itu terpengaruh dari  tendensi penulisnya sendiri. Barangkali itu yang tergambar dari puisi-puisi Malna. Beberapa puisi memang seperti menggambarkan keadaan di Berlin, dimana penulisnya saat itu tengah berada. Disamping itu Malna juga sering memasukan istilah-istilah asing yang barangkali ia temui saat sedang berada di Berlin. Semisal Isthar Gate, gutenberg, ahrweiler, dan sekiranya masih banyak lagi. Ketika saya penasaran dan mencoba search di google 'isthar gate' beberapa saat kemudian muncullah sebuah bangunan besar serupa gerbang yang disusun dengan bata bata berwarna biru. Di salah satu dindingya tergambar hewan berkaki empat. Entah saya kurang tahu jelasnya binatang apa itu. Sapi atau rusa saya tidak begitu menyimaknya dengan seksama barangkali. Tapi intinya apa yang di katakan Malna dalam puisi-puisinya itu memang benar-benar ada.

Liar, berani, menantang keindahan diksi, dan melompat-lompat itulah yang saya dapat ketika membaca puisi-puisi Malna di berlin proposal ini. Ketika penyair-penyair lain sibuk memikirkan keindahan diksi. Malna malah sebaliknya ia melawan semua itu dengan gayanya yang berani dan melompat-lompat itulah yang menurut saya membuat puisi Malna memaksa saya untuk menghabiskan secepatnya.

Di puisi kaldera Afrizal Malna memaparkan puluhan gunung yang berada di Indonesia dan sejarah singkat mengenai gunung gunung itu. Berbeda dengan puisi paket kiriman, disini Malna seperti merangkum sejarah sejak 1898 hingga 1937. Kejadian-kejadian besar dalam dan luar negeri seolah di simpan dan terekam dalam sebuah miniatur. Yang siap untuk dibuka kapan saja. Hampir saja lupa ketika membaca puisi ini kita akan disuguhi gambar yang tidak lazim namun eksotis sepett bunga-bunga sehabis malam dan hujan di sore hari.

Menyenangkan seperti mencium harum jasmine sehabis hujan turun, itulah yang barangkali ingin saya ucapkan pada Malna untuk puisi-puisinya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar