Senin, 07 November 2016

Kuntowijoyo: Dilarang Mencintai Bunga-Bunga

Saat membaca buku kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga ini saya merasa pergi ke masa dimana semuanya masih memegang erat nilai adat dan terhindar dari kemewahan.

Saya juga tidak asing dengan bahasa-bahasa yang digunakan Kuntowijoyo dalam kebanyakan cerpennya. Semisal kata keramat dan sendang, adalah dua kata yang sudah akrab dengan telinga saya sejak kecil. Beberapa cerpen Kuntowijoyo seakan membawa saya kembali pada ingatan-ingatan tentang desa saya sendiri.

Dari situ saya merasa masalah-masalah atau konflik dari kebanyakan cerpen Kuntowijoyo diambil dari masalah sosial yang sering muncul dalam masyarakat desa. Tidak jarang seperti mitos-mitos yang sering muncul dalam kehidupan desa, atau permasalahan remeh temeh lainnya. Namun dengan keahlian Kuntowijoyo yang remeh temeh itu menjadi perkara yang menarik untuk kita sikapi. Menurut sudut pandang seorang Kuntowijoyo.

Dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, bercerita tentang seorang anak yang baru saja pindah rumah. Ia melihat sebuah rumah yang asing tepat disamping rumah barunya sendiri. Satu dua kali mengintip ia tak mendapati penghuni rumah tersebut. Hingga pada suatu waktu si anak tadi melihat seorang kakek di rumah itu. Entah bagaimana detailnya saya agak lupa. Namun pada akhirnya keduanya menjadi teman baik si anak dan kakek penghuni rumah asing tadi. Di rumah kakek tadi si anak kemudian mengenal bunga-bunga yang bermekaran dimana-mana di halaman bahkan di dalam rumah. Lalu keduanya sering bertemu dan menjadi teman akrab, sering juga mereka berdiskusi tentang perihal-perihal berat tentang kehidupan dan hal-hal lain yang filosofis.

Lalu konflik muncul ketika si anak laki-laki tadi pulang membawa bunga-bunga di genggaman tangannya. Ketika ayahnya melihat si ayah lantas merampas bunga-bunga itu dan memasukkan dalam tong sampah. Menurutnya anak laki-laki tidak pantas dengan bunga-bunga. Anak laki-laki harus berkotor-kotoran dan bekerja keras tidak boleh memiliki sifat yang lembut seperti bunga-bunga itu. Dan ketika anaknya mrmbantah dengan melontarkan perkataan serupa dengan yang dikatakan kakek itu. Ayahnya menjadi marah bukan main. Barangkali ini menunjukkan pergaulan dengan siapapun akan berpengaruh besar pada diri kita sendiri.

Perkara laki-laki dan Bunga-bunga ini, juga sempat di bahas oleh Bernard Batubara dalam kata pengantar buku itu. Saya rasa Bernard Batubara seperti memberikan antitesis terhadap makna tersirat yang terkandung dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Itu bisa kita lihat dari judul yang diberikan Bara dalam kata pengantarnya "Berani Mencintai Bunga-Bunga". Ia berpendapat bahwa anak laki-laki tidak selamanya harus bekerja dengan hal-hal yang kasar, berkotor-kotoran, dan berbau tidak sedap. Adakalanya Laki-laki juga harus berdandan bersih berbau harum. Tidak seluruhnya pekerjaan mengahruskan laki-laki untuk berkotor-kotoran bukan? Barangkali seperti itulah maksud Bara. Dan saya sendiri tentu saja sangat setuju dengan apa yang di katakan Bara pada kata pengantar itu.

Dalam kebanyakan cerpennya Kuntowijoyo seakan banyak menampilkan kondisi psikologis tokoh, hal ini terlihat jelas dalam cerpen terakhir "Burung Kecil Bersarang di Pohon". Ia mengulas bagaiamana kondisi psikologis seorang guru tauhid semasa perjalanannya menuju Masjid. Disini sepertinya Kuntowijoyo lebih banyak menggambarkan kondisi kejiwaan si tokoh ketimbang menggambarkan dunia luar si tokoh.

Satulagi dalam cerpen-cerpennya Kuntowijoyo syarat sekali dengan nilai spiritual, ketenangan jiwa, dan hubungan manusia dengsn Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar