Rabu, 18 Januari 2017

Ekaristi, Mario F Lawi

Kali ini puisi-puisi Mario F Lawi yang harus kita bicarakan sebentar. Pertama saya mengenal nama  Mario adalah ketika membaca puisi-puisinya yang di muat Basabasi.co beberapa minggu yang lalu. Saya tidak begitu ingat judulnya, hanya saja ketika saya membaca puisi itu saya lantas teringat pada sebuah nama di antara buku-buku yang tertumpuk di meja kamar saya. Ketika pulang saya lantas mencarinya, dan tidak salah nama Mario F Lawi berada diantara tumpukan-tumpukan buku yang belum saya baca.

Itulah pertama kali saya betul-betul mengenal nama Mario F Lawi dan puisi-puisinya. Setiap kali mengenal penulis baru saya selalu penasaran dengan biografinya terutama tanggal lahir dan latar belakang ia menulis. Ketika mengetahui tanggal lahir setiap penulis saya selalu membanding-bandingkan dengan tanggal lahir saya sendiri. Jika ia lebih tua dari saya, yang kemudian saya lakukan adalah menghitung di umur berapa ia bisa menulis buku yang bagus-bagus dan berapa karya yang telah ia terbitkan. Lalu di hati, seperti ada tekad atau semacam keinginan membuat target di umur yang sama kurang lebih saya harus bisa seperti dia. Sebaliknya jika ada, penulis yang lebih muda atau seumuran dengan saya namun karyannya sudah di akui masyarakat luas, semisal itu adalah Faisal Oddang—yang seumuran dengan saya, kelahiran 1993-1994, dia telah meraih penghargaan cerpen terbaik pilihan kompas di tahun 2014—atau Surya Gemilang—yang lebih muda empat tahun dari saya, ia kelahiran 1998, di usianya yang begitu muda beberapa cerpen dan puisi-puisinya telah banyak di muat di beberapa media. Sementara Mario F Lawi sendiri, kelahiran 1991 lebih tua tiga tahun dari saya, juga sudah menulis beberapa buku.

Begitulah saya tertarik membaca tentang penulis, yang biasa terletak di akhir buku. Atau kata pengantar yang terletak di halaman-halaman awal buku. Di kata pengantar biasanya penulis memaparkan perkara-perkara penting tentang isi dari buku tersebut, juga beberapa pesan dan kesan penulis selama menyelesaikan buku. Disitulah biasanya saya bisa mencuri sedikit banyak tentang bagaimana proses menulis, dan apa saja yang di rasakan si penulis selama menulis buku tersebut.

Seperti halnya didalam kata pengantar Ekaristi, Mario berbicara panjang lebar tentang hidupnya dan puisi. Mario sendiri berkenalan dengan penyair-penyair kontemporer seperti: Joko Pinurbo; M Aan Mansyur; Esha Tegar Putra; Nirwan Dewanto; Iyut Fitra dan lain-lainnya ialah saat ia sedang duduk di kelas 2 setingkat SMA. Saat itu ia mulai akrab dengan koran Kompas dan mulai mengoleksi buku-buku sastra, agak serius. Begitu katanya.

Sebenarnya beginilah cara saya belajar menulis puisi, cerpen dan novel. Saya belajar dari penulis-penulis yang telah berhasil menerbitkan buku-bukunya dengan cara mengamati buku-buku itu. Dan berharap didalam buku-bukunya penulis-penulis itu memberikan bocoran cara ia menulis buku tersebut. Di Ekaristi, Mario ternyata baik hati. Ia mengatakan selama menulis puisi ia tidak lepas dari cerita-cerita tradisional, menggali kearifan lokal dan beberapa khazanah Al-Kitab yang ia yakini. Sehingga tidak salah jika selama membaca  Ekaristi saya seakan menjadi orang asing yang berdiro diantara kerumunan yang riuh dan saya tidak tahu harus kemana. Barangkali itu disebabkan saya dan Mario memiliki perbedaan keyakinan.

Di Ekaristi banyak sekali Glossary yang tidak saya mengerti, bahkan sesekali tidak terdaftar dalam KBBI ketika saya coba mencarinya kata-kata yang mario gunakan dalam sajak-sajaknya kebanyakan tidak terdaftar. Menurut saya Mario telah berhasil memperkenalkan kearifan lokalnya pada publik. Ekaristi sendiri merupakan salah satu sakramen untuk merayakan lahir dan meninggalnya kristus. Dan beberapa tentang keyakinan kakeknya tentang keyakinan Jingitiu, suatu keyakinan yang di pegang kakek Mario hingga tandas hidupnya.

Didalam Ekaristi, Mario benar-benar berhasil membawa cerita-cerita tradisional yang penuh glossary asing, membawa kearifan lokalnya, dan terakhir, menaruh apa yang ia yakini dalam Alkitab. Benar-benar luar biasa, namun ada satu yang tak berhasil Mario lakukan: membuat saya pindah keyakinan dan meninggalkan iman saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar