Senin, 16 Januari 2017

Lelaki Harimau, Eka Kurniawan

Saya masih ingat teman saya dari kota mengatakan, ia tak berani membantah ataupun melawan orang tuanya lantaran takut menjadi batu seperti hikayat Malin Kundang. Bukankah ini sangat aneh atau barangkali lucu. Seorang anak yang di besarkan di kota dengan pergaulan yang begitu liar dan barangkali sangat bar-bar, tak berani melawan orang tua.

Saya sempat tersenyum di dalam hati, dan sedikit merenung sejenak selama ia masih nerocos menceritakan kehidupannya yang keras di kota, tempat ia tinggal dulu. Mungkin inilah guna dari sastra, asumsi saya. Ia menanamkan nilai pada sisi paling dalam. Bahkan lingkungan pun tak mudah untuk menggoyahkannya. Sebelumnya saya sempat bertanya-tanya apa yang saya peroleh dari membaca novel, cerpen dan beberapa puisi. Apakah hanya kesia-siaan?

Memang sebagai seorang yang tertarik di dalam dunia tulis-menulis fiksi, sebagai pembaca saya lebih sering membaca untuk mengamati. Seperti apa cara membuat awal cerita yang baik; tanda baca yang benar; dan mengapa buku ini di kategorikan bagus dan banyak di rekomendasikan. Itulah yang saya perhatikan selama membaca, meskipun sesekali saya merasa tersiksa dengan proses melelahkan itu, namun saya tetap akan melakukannya terus dan terus meskipun beberapa saat saya tinggal untuk bersantai. Beberapa saat kemudian saya akan kembali membaca buku-buku itu dan melanjutkan proses melelahkan yang selalu mengganggu pikiran saya. Itulah minat saya dalam sastra.

Catatan di atas sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan novel yang selesai saya baca kali ini. Saya hanya sekedar menyampaikan apa yang mengganggu pikiran saya selama membaca Lelaki Harimau, Eka Kurniawan. Baiklah saya akan mulai menyinggung tentang Lelaki Harimau.

Saya membaca Eka Kurniawan pertama kali adalah dari kumpulan cerpennya, Corat-coret di Toilet. Di sana saya ternyata menemukan banyak tentang bagaimana seorang yang ahli di bidangnya menuliskan cerpen yang sederhana, mudah di mengerti, namun sangat kompleks dan berkali-kali menyinggung ironi sosial.

Mendengar bahwa Lelaki Harimau mendapat nominasi dalam The Man Booker International Prize, sebuah penghargaan internasional. Saya langsung tertarik untuk membacanya. Dan mencari-cari mana yang bagus dari buku ini, oh iya sebenarnya buku ini saya baca di akhir tahun 2016 dan selesai di awal 2017. Jadi boleh di bilang buku inilah yang menemani saya di awal tahun 2017 sekaligus menjadi buku pertama yang saya selesaikan di tahun ini.

Sejauh ini menurut saya, Buku kedua yang saya rasa setara dengan buku-buku Andrea Hirata adalah buku ini, Lelaki Harimau. Saya berkali-kali di buat tercengang sekaligus tehibur, dan sesekali cekikikan disana sini mengikuti tigkah polah narator yang seolah amat liar dan tanpa batasan namun tetap selalu terlihat sebagai pencerita yang matang dan profesional. Eka Kurniawan, benar-benar telah mengambil tempat di hati saya tanpa saya sadari sekaligus tanpa keterpaksaan.

Menurut saya ini adalah novel kedua yang membuat saya mengenal lebih jauh tentang Indonesia, sekaligus menambah rasa bangga saya terhadap Indonesia. Di novel ini saya seolah melihat Indonesia dari sisi gelap yang mungkin jarang kita suguhkan jika kita berkenalan dengan orang lain. Sebagaimana perkenalan pada umumnya, tentunya kita akan mengenalkan diri dari sisi-sisi baiknya saja dan menutupi sisi buruknya, seakan-akan sisi buruk tak ada baik-baiknya untuk kita kenalkan pada orang lain. Namun Eka Kurniawan di Lelaki Harimau ini mengambil jalan yang sebaliknya, ia mengenalkan dari sisi sebaliknya, Indonesia yang carut marut dengan segala borok yang menempel disana sini, namun tetap menarik untuk di simak dan di ikuti hingga akhir. Seolah-olah Eka Kurniawan adalah peracik jamu yang pandai memilah rasa nikmat di antara rasa-rasa pahit yang tersedia.

Dalam salah satu jurnal Bernard Batubara, mengatakan yang harus di tulis penulis Indonesia adalah menulis Indonesia, sejatinya itulah yang di cari oleh pembaca luar. Mereka ingin mengerti corak Indonesia. Dan saya rasa Eka Kurniawan telah memberikan apa yang mereka cari tentang Indonesia di Lelaki Harimau nya.

Pertama kali membaca Lelaki Harimau, saya di buat bertanya-tanya atas segala kebingungan yang saya dapat di awal-awal halaman. Namun lembar demi lembar saya buka Eka Kurniawan mampu membuat saya memahami apa yang hendak ia sampaikan. Seakan-akan ia mengerti bahwa saya tak terlalu pandai untuk perkara yang rumit-rumit seperti hati anak perempuan misalnya.

Pertanyaan saya mengenai apa alasan Margio telah membunuh Anwar Sadat di kalimat pertama cerita terjawab jelas di Kalimat akhir cerita. Dan tanpa menyikasan secuil pertanyaan yang tidak terjawab. Seolah-olah Eka Kurniawan paham betul tentang hukum sebab-akibat, tentang logika cerita. Selama membaca Lelaki Harimau, Eka Kurniawan seolah berlari kencang ke depan kebelakang berkali-kali untuk menjawab satu persatu dari pertanyaan yang pembaca dapatkan.

Yang membuat saya tidak bisa lupa dengan Lelaki Harimau adalah sebuah mitologi Indonesia bahwa konon kakek dari kakek kita mengawini harimau, dan memelihara harimau-harimau itu didalam tubuhnya. Harimau itu akan keluar jika kaedaan genting atau sang tuannya sedang ingin menghajar sesuatu. Konon harimau-harimau itu digunakan orang-orang untuk menghadapi penjajah. Jika tuannya telah mati harimau itu akan ikut anak cucunya. Begitulah Margio memiliki harimaunya.

Namun masalah yang amat kompleks yang meliputi mitologi itu juga amat saling mendukung satu sama lain untuk membentuk cerita yang luar biasa. Dan pada akhirnya sedikit banyak saya mulai percaya dan mengambil pelajaran dari karya-karya sastra, seperti halnya teman saya yang mengambil pelajaran dari hikayat Malin Kundang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar