Senin, 31 Agustus 2015

Janji Kehidupan

Ditempat itu derita bertumpuk-tumpuk di setiap sudutnya. Malaikat pencabut nyawa bertaburan di setiap pintu-pintu ruangan. Bersiap siaga menarik ulur kehidupan. Alangkah menakutkannya. Di tempat itu kehidupan jaraknya amat dekat dengan kematian munkin hanya sebatas satu jengkal jari saja.

Dinding putih, lantai putih, kerangka bayang pun berwarna putih. Tapi putih yang satu ini bukanlah putih kesucian. Melainkan lebih condong pada putih ketiadaan. Entah dari mana asal muasal warna tersebut. Jika menatapnya lamat-lamat aku seolah-olah terseret ke dunia yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tak terperi pilunya.

Ditempat ini janji kehidupan di umbar dalam hitungan rupiah. Seolah nyawa bisa tertolong jika kau mengantongi rupiah dalam dompetmu. Jika sedikitpun tak ada, maka bersiap-siaplah enyah dari tempat ini, jangan harap kehidupan dan kematian berjarak sejengkal lebih. Boleh jadi akan kurang dari itu.

Pagi itu adalah hari pertama Aku berada di tempat ini. Perasaan canggung bercampur bingung menyelimuti pikiranku. Bahkan aku sempat ketakutan melihat pak tua bersimbah darah, lantaran jempol nya telah raib setengah bagiannya. Katanya gergagi barusan telah memotongnya secara tidak sengaja. Melihat dan mendengar kejadian itu. Bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Aku menelan ludah.

Kupandangi orang-orang bermuka gelisah. Duduk di kursi yang teronggok di teras sambil membawa sebotol cairan yang terhubung ke lengan orang-orang itu dengan selang seukuran sedotan air kemasan. Mereka mengankatnya tinggi-tinggi. Pandangan mereka memiliki makna keputusasaan, penderitaan, ketidakbebasan, bercampur ketidaknyamanan. Tapi mereka masih punya satu harapan, yaitu janji kesehatan.

Setiap kali ku sambangi mereka saban pagi. Hanya satu pertanyaan yang seringkali dilontarkan. 'Kapan Aku bisa pulang Pak?'. Aku cukup tersenyum membalas pertanyaan itu. Sambil mendoakan semoga lekas sembuh.

Disaat-saat seperti itu sering aku menghela napas dalam. Lantas memalingkan pandangan ke arah jasmine-jasmine yang baru saja bermekaran di depan teras itu. Hanya merekalah yang senantiasa tabah mendengar keluh kesah. Pasien-pasien puskesmas itu.

Para petugas kesehatan adalah orang yang paling kejam. Bagaimana tidak hidup mereka dari uang orang sakit. Bahkan mereka tertawa riang satu sama lainnya. Ketika orang sakit bertambah jumlahnya. Bukankah itu amat memuakkan. Tapi anehnya lagi si orang sakit itu menaruh harapan besar pada orang-orang petugas kesehatan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar