Minggu, 09 Agustus 2015

Takdir Yang Telah di Gariskan

Beberapa hari yang lalu. Ketika sedang berada di tanah kelahiran Karaeng. Aku amat gamang lantaran baru pertama kalinya. Semuanya asing, bahasa mereka asing di telingaku. Aku tak mengerti apa yang orang-orang bicarakan di warung makan yang tepat berada sebelahku duduk saat itu. Juga lingkungan yang asing. Tak biasa aku melihat anjing bebas berkeliaran mirip anak ayam di kampungku. Juga tebing yang yang melingkar dan berselimut pepohonan didepanku. Indah memang, pemandangannya tapi semuanya asing bagiku. Aku belum terbiasa.

Sesekali angin berhembus kencang menyapu debu juga dedaunan kering yang berserakan di lapangan seolah tak suka akan kedatanganku. Sejak jam di tanganku menunjuk pukul 09.00 udara di sekitar tebing ini menjadi semakin panas. Sehingga kesan dahaga srmakin melekat di tenggorokanku. Bawaannya ingin minum terus. Tapi disini semuanya memakai uang dan harganya dua sampai tiga kali lipat harga barang di Jawa Timur. Pedagang disini menurutku sungguh tidak adil, tidak berbelas kasihan. Seolah mereka telah menjadi kapitalis sejak lahir. Amat matrialis para pedagang-pedagang disini. Semuanya di jual sesuka hati, dengan harga setinggi tebing didepanku. Pintar sekali mereka memanfaatkan teori ekonomi. Bahwa disini demand lebih banyak dari pada suply. Oleh sebab itu mau tidak mau Aku harus bersikukuh menahan dahaga yang menggebu-gebu itu.

Saat itu adalah hari pertama dimana aku menjalani mandat kampus. Masih sekitar 9 hari aku tinggal di tanah makassar itu. Dan jika ingin hidup mau tak mau Aku harus pandai memanage uang. Agar cukup untuk hidup selama itu.

Kurang lebih empat jam berselang. Kuhabiskan dengan bercakap-cakap dengan seorang teman yang sejak tadi duduk bersamaku di atas bayang yang terbuat dari bambu.

Didepanku anak-anak kecil berlarian saling kejar satu sama lain. Mereka terlihat riang sekali. Seolah terpancar kecerian di sekitar kami. Gelak tawa pun berhamburan di sembarang tempat. Melesat liar bak molekul-molekul atom di tabung reaksi. Aku amat suka suasana saat itu.

Di tengah-tengah kecerian anak kecil itu terlihat kakek tua sedang berjalan memakai tongkat. Awalnya Aku tak mengira bahwa kakek itu akan sangat akrab dengan kami-- Aku dan Kawanku--hari-hari selanjutnya.

Kian lama, aku kian tahu mau kemana Kakek itu. Dari kejauhan Aku sedikit memperhatikan kakek tua itu. Jalannya amat pelan dan sedikit terseok-seok. Tapi untungnya ada tongkat yang membantunya berjalan. Maklum beginilah orang tua umumnya. Penampilannya amat menarik. Dari atas Ia memakai topi rimba. Rambutnya hampir keseluruhan memutih. Memakai seragam baju HW. Tapi bawahannya memakai sarung. Agak kurang pas memang. Tapi umur lah yang seolah membuat semua itu wajar dan bisa di terima.

Kini Beliau telah berada dalam jarak komunikasi efektif denganku. Ia duduk di bayang yang Aku dan temanku sedang duduki saat itu. Tanpa di suruh orang tua tadi berbicara semaunya seolah sedang bercerita. Memang ia sedang bercerita. Tapi tak tahu sedang menceritai siapa. Maka dengan sebuah ketidak sengajaan aku dan temanku mendengarkan pak tua tadi bercerita.

Ia bercerita banyak tentang anaknya yang tak begitu pandai dibsekolah. Tentang pengalamannya selama menjadi guru dulu. Tentang pengalaman sewaktu kecil beliau di Flores. Dan yang paling berkesan adalah cerita beliau tentang anak didiknya yang tak pandai dalam akademik. Namun karena anjuran beliau untuk tetap bersekolah. Dikemudian hari beliau bertemu dengan anak didiknya itu saat sudah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya.

Aku amat berterimakasih dengan takdir yang telah di gariskan Tuhan. Bahwa di dunia tidak ada yang kebetulan. Semuanya terjadi karena sebab akibat yang telah kita prrbuat di hari sebelumnya. Begitu juga dengan pertemuan dengan setiap orang. Bahwa semuanya telah di takdirkan. Dari beliau, Bapak Yusuf Ismail yang berusia 68 tahun ini banyak pelajaran hidup yang kuperoleh. Dan jarang sekali kutemukan di bangku perkuliahan.

Pembicaraan pun berakhir dengan kegembiraan di air terjun Bantimurung. Kami bersama-sama mengguyur lelah di bawah derasnya air terjun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar