Minggu, 02 Agustus 2015

Perjalanan Panjang Nan Melelahkan

Melalui perjalanan panjang ini Saya ingin rasanya bercerita banyak tentang pengalaman yang telah Saya dapat. Berawal dari surat tugas yang datangnya boleh dibilang sangat mendadak dan mendesak pula. Mau tidak mau Saya harus berangkat sesui tanggal yang tertera pada Surat Tugas tadi.

Awalnya Saya tidak percaya bahwa tiga hari kedepan, perjalanan panjang nan melelahkan harus Saya tempuh. Bagaimana tidak melelahkan jika perjalanan itu harus menyeberangi lautan, lautan kawan bukan selat. Dan harus naik kapal pula. Dalam benak saya kapal adalah benda yang amat asing. Ibarat hubungan Saya dengan Harimau Sumatera, hanya sebatas melihat dari TV. Belum akrab betul. Begitu juga dengan kapal tadi. Saya hanya tahu gambaran kapal dari sebuah buku.

Penafsiran kapal dalam benak Saya sebelumnya sangat elok. Boleh dibilang hati ini berbunga-bunga ketika tahu perjalanan panjang ke Makasar itu harus naik kapal, dan gratis pula. Alias free tidak usah bayar. Bayangan Saya sebelumnya. Kapal itu punya kabin semacam kamar dan  didalamnya terdapat dipan yang nyaman, untuk tidur penumpangnya. Lantas di dekat dipan ada jendela kaca bundar yang dapat digunakan untuk memandang keluar. Kemudian ada koki kapal yang masakannya luar biasa lezatnya. Kemudian ada juga kelasi atau ABK berpakain seragam putih-putih bersih, dan bersahaja pula dengan penumpang. Begitulah kiranya penafsiran Saya tentang Kapal, mirip dengan apa yang digambarkan dalam novel 'Rindu' karangan Bang Tere Liye.

Sesampainya di pelabuhan, sedikit penafsiran Saya yang indah-indah tadi telah di acak-acak oleh tukang parkir mobil yang tak tahu sopan santun. Baunya kecut, mukanya preman, dan dilehernya berkalung handuk kumal pula yang sesekali mereka sapukan kewajah mereka.

Dan seperti semangkuk bakso yang dibalik seratus delapan puluh derajad. Tumpah sudah penafsiran indah itu. Berganti dengan kekecewaan yang menohok ulu hati. Saat menjejakkan kaki diatas dek tiga kapal yang saya tumpangi. Tidak ada kabin, tidak ada kelasi baik hati, pun juga dengan chef yang pandai memasak. Tidak ada!

Bahkan di kapal itu. Barang-barang seperti minuman atau makanan dijual sesuka hati penjual nya. Seolah istilah pembeli adalah raja, berganti menjadi pembeli adalah babu. Baru saya tahu bahwa hukum ekonomi di lautan berlaku Demand lebih tinggi dari Suply. Jadi bisa di tarik kesimpulan jika ingin berjualan dengan harga setinggi tiang bendera bolehlah berjualan di kapal.

Kekecewaan Saya menjelma menjadi mimpi buruk ketika dua hari dua malam. Saya terkapar tidak bisa bangun. Tapi satu hal yang akan selalu ku ingat. Pelajaran kehidupan yang amat berharga. Tidak salah jika dibilang manusia itu lemah tanpa pertolongan Allah. Coba bayangkan, ketika di tengah-tengah lautan. Ruang gerak menjadi amat terbatas, kita boleh berkuasa di daratan lain lagi dengan di lautan. Tanpa ada kapal yang dengan kuasa Allah di apungkan, tamat sudah riwayat kita. Bukankah seperti itu kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar