Selasa, 06 September 2016

Penyair Jawa Timur: Permohonan Hijau

Menurut saya puisi ibarat sebuah makanan yang dibungkus sebuah wadah yang didalamnya kita tidak tahu ada makanan macam apa, enak atau tidak enak kita tidak tahu. Barulah terasa ketika lidah kita menyentuhnya. Membaca puisi tidak seperti membaca buku-buku lain yang kebanyakan bisa kita duga-duga isinya saat pertama kali membaca judul yang melekat disampulnya.

Sebenarnya saya juga tidak betul-betul mengerti tentang puisi, macam-macamnya, klasifikasinya dan semacamnya itu. Tapi entah mengapa saya benar-benar suka membaca sekaligus menulis puisi. Sudah sekitar satu tahun lebih saya rutin menulis puisi di akun Instagram saya (@fatahanshori1), kawan-kawan boleh mengeceknya jika tidak percaya. Sekalian di follow juga tidak apa-apa hehe... . Baiklah mari saya ceritakan pengalaman saya membaca buku puisi 'Permohonan Hijau'.

Sebenarnya buku ini saya dapat dari teman saya yang kuliah di sastra Indonesia Unair. Ia dengan sukarela menghibahkan buku tersebut di rumah baca yang kita buat bersama-sama. Permohonan Hijau merupakan buku antologi dari delapan belas penyair jawa timur yang terkumpul dalam Festival Seni Surabaya 2003. Saat membaca biografi dari penyair-penyair itu saya sempat tercengang, lantaran sebagian besar penyair-penyair itu lahir di Lamongan, kota kelahiran saya sendiri. Beberapa nama memang asing di telinga saya, namun beberapa yang lain sempat saya ketahui, dan pernah saya baca karyanya yang termuat dalam buku antologi cerpen 'Bukit Kalam' oleh Dewan Kesenian Lamongan.

'Permohonan Hijau' adalah buku antologi puisi kedua yang saya baca setelah buku kumpulan puisi-puisi Cinta W.S. Rendra. Keduanya sama-sama buku puisi, namun memiliki perbedaan rasa yang kentara ketika saya membacanya. Tidak seperti W.S. Rendra yang puisi-puisinya pendek dan sering membuat saya tertawa saat membacanya satu persatu. Di 'Permohonan Hijau' keseluruhan puisinya terkesan dalam, serius, dan membuat saya berkali-kali membaca ulang setiap puisi untuk menemukan makna yang terkandung, atau paling tidak saya mengulang, untuk menemukan kenikmatan membaca puisi.

Buku puisi ini terkesan gelap, ketika membacanya saya seakan-akan di ajak berjalan menelusuri dunia antah berantah yang sama sekali asing. Atau kadang-kadang saya hanya berputar-putar di tempat yang sama lantaran puisi-puisi yang saya baca itu sama sekali tidak masuk di kepala saya. Entah seperti itulah yang saya alami, atau mungkin cara menikmati puisi saya salah.

Tapi ada tantangan dan kenikmatan tersendiri ketika saya dapat memahami puisi-puisi didalamnya. Entah bagaimana, sepertinya saya kesulitan mengungkapkannya dengan kata-kata. Beberapa puisi yang termuat di 'Permohonan Hijau' menggunakan kata-kata yang asing, bahkan ketika saya cari di KBBI saya tak menemukan arti kata itu, semisal rangsum, dan mefosil. Atau mungkin itu nama tempat, atau salah dalam pengetikan saya juga tidak tahu jelasnya.

Beberapa yang lain bahasa yang digunakan terkesan vulgar. Entah mengapa mereka gemar sekali menggunakn kata-kata itu seperti pelir, dubur, payudara, dan semacamnyalah. Pesan saya untuk anak-anak sebaiknya tunggu usia delapan belas dulu baru boleh membacanya, ya!

Meski terkesan gelap, vulgar, asing, saya tetap menyukai buku ini. Sebab saya harus belajar banyak untuk bisa seperti penyair-penyair sekelas Sapardi Joko Damono, Joko Pinurbo, M. Aan Mansyur dan kawan-kawannya itu. Jika penasaran silahkan membaca ya kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar