Sabtu, 24 September 2016

Putu Wijaya: Gres

Putu Wijaya adalah penulis yang saya kenal dengan tidak sengaja. Mulanya saya mencari-cari buku sastra klasik terbitan Balai Pustaka dan akhirnya saya menemukan buku kumpulan cerpen Gres ini diantara tumpukan buku-buku lainnya. Disebutkan dalam kata pengantar bahwa Putu Wijaya adalah penulis yang menciptakan trend baru pada masanya bersama Danarto, Budi Darma, dan lain-lain.

Dalam buku kumpulan cerpen ini ada 17 cerita pendek yang entah mengapa setiap judulnya hanya menggunakan satu kata. Salah satu apalagi salah dua dari ketujuh belas cerpen itu tak ada yang menggunakan judul lebih dari satu kata. Barangkali ini memang dibuat-buat Putu Wijaya untuk menunjukkan ciri khas atau karakternya sebagai penulis, saya juga kurang tahu sebab baru dari buku ini saya membaca Putu Wijaya. Untuk sementara ini saya belum pernah menemukan tulisan atau cerpen-cerpennya dimuat di media seperti koran atau yang lainnya.

Pertama saya membaca cerpennya yang berjudul Babi, saya langsung suka dengan cara berkelakar Putu Wijaya. Caranya menjadi narator sangat berani dan terkadang membuat saya tertawa dengan keunikan gagasan yang ia sampaikan dalam cerpen-cerpennya. Dalam cerpen Babi, Putu Wijaya menceritakan kisah yang absurd, menurut saya. Bagaimana mungkin sebuah tangan bisa berseberangan idealisme dengan kepala atau isi pikiran kita. Setiap kali hendak menuliskan namanya sendiri tangan kanannya dengan serta merta menulis kata Babi. Yang ada adalah kata 'Babi' bukan namanya. Menurut Dokter ini adalah rencana tangan kirinya yang iri dengan tangan kanannya. Oleh karena itu tangan kiri ingin melakukan rencana semacam kudeta terhadap tangan kanan. Kadang-kadang saya tidak begitu mengerti dengan gagasan yang disampaikan oleh Putu Wijaya.

Beberapa cerpen Putu Wijaya menurut saya tidak membesar-besarkan drama. Yang artinya dalam beberapa cerpennya Putu Wijaya tidak menkonkretkan sebuah adegan dengan setting yang kuat seperti dalam cerpenya: 1981, Aktor, Moh, Neraka, Maria, dan Bisma. Kira-kira di cerpen-cerpen itu Putu Wijaya kelihatannya lebih tertarik untuk mengutarakan gagasan-gagasan lewat tokoh-tokoh yang Ia buat, ketimbang sibuk menggambarkan setting. Namun itu tidak mengurangi kemenarikan kisah yang dibuat Putu Wijaya.

Dalam cerpen-cerpennya yang lain Putu Wijaya sering menciptakan tokoh yang diluar adat. Unik bin aneh dan perlu saya akui berhasil membuat saya tertarik dan membacanya hingga kelar. Seperti dalam cerpen yang berjudul Dompet misalnnya, disitu Putu Wijaya membuat seorang tokoh berperilaku dan berpikiran macam-macam lantaran sebuah dompet. Segala prasangka buruk seakan-akan menerornya setiap waktu. Sehingga yang terjadi hidup si tokoh jadi tidak tenang. Dan di akhir cerita si tokoh akhirnya mati gara-gara sebuah dompet.

Ini serupa dengan apa yang terjadi dalam cerpen-cerpennya yang berjudul Roh. Disitu tokoh utamanya dibuat lain dari kebanyakan orang. Roh yang menjadi tokoh utama sangat ingin merayakan ulang tahun namun Roh sendiri tidak tahu kapan hari ulang tahunnya, alias ia tak tahu kapan tanggal lahirnya. Ini gara-gara waktu ia lahir tak ada yang mencatat tanggalnya.

Dari kisah-kisah itu saya takjub dengan cara Putu Wijaya membuat logika cerita. aneh, absurd bagai benang kusut namun keseluruhan cerita tetap bisa di ikuti dengan nalar dan rasional. mengandung hukum sebab akibat yang apik. Sehingga setiap cerita seperti terjalin dari awal hingga akhir. Berkesinambungan, meski sesekali saya harus berhenti atau mengulang membacanya untuk merenung dan memikirkan kemana cerita ini akan dibawa. Satu lagi disetiap akhir cerpennya Putu Wijaya menyisipkan TTL cerpennya. Barangkali ini bisa dijadikan tinjauan untuk peneliti yang ingin mencari tahu apa yang terjadi ketika waktu itu pada wajah Indonesia. Mungkin seperti itu.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar