Minggu, 25 September 2016

Abdoel Moeis: Salah Asuhan

Sejak kecil lingkungan dikampung saya memang akrab dengan adat dan mitos-mitos yang sempat membuat saya takut jika tidak patuh akan hal-hal yang disebutkan orang tua. Semisal anak-anak tidak boleh bermain diluar rumah ketika sore hari, sesaat sebelum sholat Maghrib karena dalam waktu-waktu itu, katanya marabahaya mudah datang. Ada lagi, kita tidak boleh menduduki sapu lidi, jika tidak ingin beranak banyak saat berumah tangga nanti. Dan masih banyak lagi mitos-mitos semacam ini, atau barangkali sebagian menyebut hal-hal seperti itu sebagai, pamali.

Sejak kecil saya dibesarkan dengan adat dan mitos-mitos yang pada waktu itu sering membuat saya ketakutan jika tetap melawan, saya benar-benar takut terkena imbasnya. Namun seiring waktu berjalan, ketika saya tumbuh dan tumbuh otak saya suka terusik ketika memikirkan mitos-mitos atau adat yang suka dibicarakan orang tua itu. Seakan ada orang lain dikepala saya yang berkata pada saya bahwa segala apa yang dikatakan orang tua itu tak bisa diterima akal, atau bahkan tidak rasional sama sekali. Tidak ilmiah, begitu barangkali kata intelektual-intelektual muda sekarang.

Ibu sayalah yang suka sekali melontarkan mitos-mitos itu. Segala apa yang keluar dari mulut ibu saya selalu saya dengar dan entah mengapa saya selalu menikmati cerita-cerita ibu. Barangkali ibu adalah pendongeng terbaik yang pertama kali saya kenal. Ia pandai membuat cerita-cerita aneh yang sebenarnya mitos itu, namun saya percayai dan patuhi pesan-pesannya. Ternyata ibu saya sudah mengerti bagaimana cara mengindoktrinasi dengan baik meski ibu saya hanya tamatan SMP. Baru saya sadari kehebatan beliau dalam membuat cerita aneh, tidak masuk akal, tapi ajaib, bisa diterima begitu saja oleh anak-anaknya.

Kurang lebih seperti itulah cara ibu mengasuh anak-anaknya. Benar, kami dibesarkan dengan mitos-mitos yang aneh dan seringkali tidak bisa dinalar. Menurut beberapa orang, mungkin cara-cara semacam itu tidak masuk dalam ilmu parenting. Oke baiklah, kiranya prolog barusan sudah cukup untuk memulai ke buku yang hendak kita bahas.

Dalam novel yang termasuk sastra klasik ini Abdoel Moeis mengambil tema yang barangkali juga klasik yakni tentang percintaan. Namun yang membuat menarik kisah cinta segitiga Hanafi, Corrie dan Rapiah dibalut dengan setting Indonesia sesaat setelah merdeka. Dan diimbuhi gagasan yang syarat pesan moral.

Hanafi seorang anak Bumiputra yang sejak kecil banyak bergaul dengan bangsa belanda serta disekolahkan di sekolah Belanda. Dan telah lama mengenal Corrie seorang gadis dari bangsa Belanda. Sehingga keduanya telah menjalin pertalian yang telah lama. Dan pada akhirnya tumbuhlah perasaan cinta Hanafi pada Corrie gadis Belanda itu. Namun sayangnya cinta Hanafi terbatasi adat yang diciptakan kedua bangsa.

Disaat yang sama ibu Hanafi memaksanya untuk menikahi Seorang perempuan kampung, totok dan memegang erat adat bangsanya, itulah Rapiah. Karena hal balas budi akhirnya Hanafi harus menikahi Rapiah, namun cinta Hanafi hanya buat Corrie seorang. Hari-hari setelah pernikahan adalah neraka bagi Rapiah setiap hari ia menerima perlakuan kasar dari suaminya.

Didalam hati Hanafi hanya ada Corrie semata. Pada suatu hari ketika Hanafi ke Betawi bertemulah ia dengan Corrie. Keduanya akhirnya melanggar adat bangsanya masing-masing dan membulatkan tekad untuk menikah, setelah Hanafi mencerai Rapiah di kampung. Betapa sedih ibunya mengetahui fasal ini. Anaknya yang satu-satunya itu dikiranya telah salah dalam memberi asuhan. Ia menyesal bukan main melihat perangai anaknya yang demikian. Didalam prasangkaan ia telah salah lantaran tidak membesarkan anaknya didalam adat kampung yang syarat pelajaran-pelajaran agama.

Didalam novel ini Abdoel Moeis menjadi narator dengan gaya omniscience. Dan bahasa yang digunakan khas sekali, seketika saya teringat dengan Buya Hamka gaya penulisannya hampir sama, memunculkan kekhasan Sumatera. Jika masih penasaran sila dibaca bukunya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar