Jumat, 24 Juni 2016

Menilai Orang dari Sikap

Dalam perkuliahan seringkali kita sebagai mahasiswa selalu mengejar-ngejar angka. Bingung ketika IPK kita dibawah angka 3. Frustasi apabila dalam ulangan tak dapat mengerjakan soal dengan lancar. Seolah-olah apa yang barusan kita isikan dalam lembar jawaban kurang tepat.

Maka yang ada biasanya, kita mudah untuk melakukan kecuranga-kecurangan. mencontek teman. Melihat jawaban teman tanpa sepengetahuannya. Membuka catatan kecil yang kita buat saat belajar tadi malam. Atau yang sekarang sedang trend, yakni membuka smartphone lantas bertanya apa saja pada mbah Google. Luar biasa, jawaban yang kita tanyakan keluar semua.

Dalam dunia pendidikan perihal semacam ini bukan lagi mengejutkan. Malahan sudah menjadi rahasia umum. Dari anak SD hingga anak perguruan tinggi sudah tahu semua. Seakan ini merupakan budaya dalam dunia pendidikan kita.

Pemerintah tidak hanya diam mengetahui ini. Budaya mencontek yang kiranya sudah menjadi lingkaran setan ini seakan amat sulit untuk diputus. Apalagi seiring kemajuan teknologi, kecurangan-kecurangan dalam dunia pendidikan semakin banyak macamnya.

Pemerintah membuat aturan dengan mengeluarkan dua puluh paket soal. Siswa pun punya cara sendiri, dan tak kehabisan cara untuk mengahdapi upaya pemerintah dalam memutus rantai kecurangan itu. Ada saja cara mereka untuk menghadapinya. Seakan kreativitas mereka tak pernah kering. Namun dalam waktu dan tempat yang salah.

Pada dasarnya Si Murid ingin mendapatkan nilai yang bagus di atas rata-rata, karena memang sebuah tuntutan. Ketika siswa SD masuk ke SMP, SMP ke SMA, dan seterusnya, bahkan ketika hendak melamar pekerjaan, rasanya semua instansi mengharapkan nilai raport yang baik. Tidak ada angka dibawah rata-rata. Maka tidak salah jika siswa atau Si Murid selalu ingin mendapat angka yang memuaskan di semua bidang entah bagaimanapun caranya. Halal atau haram seakan tak jadi soal. Maka disinilah kita sebenarnya telah mengalami yang namanya defisit moral.

Mungkin akan lain ceritanya jika setiap instansi menerima pelamar tidak selalu memprioritaskan nilai dalam pendidikan formal. Yang kebanyakan selalu menunjukkan kecerdasan intelektual saja, padahal sebenarnya manusia memiliki berbagai macam kecerdasan. Seperti kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, misalnya.

Namun selanjutnya akan muncul pertanyaan, bagaimana cara mengukurnya? Bagaimana cara kita melihat kecerdasan-kecerdasan itu?

Prof. Renald Kasali dalam Kursus Indonesia X pernah mengibaratkan ini sebagai fenomena Gunung Es. Yang selalu demikian. Puncak gunung selalu terlihat lebih sedikit dibandingkan dasar gunung yang tertutup oleh air laut. Apa artinya ini? Puncak gunung yang terlihat itu diibaratkan sebagi ijazah, nilai, atau gelar yang didapat seseorang. Dan terlihat secara kasat mata. Namun yang berada didasar laut dan sejatinya lebih banyak adalah merupakan 'sikap' yang dimiliki seseorang.

Itulah yang lebih penting 'sikap'. Sikap tak pernah terdeskripsikan dalam nilai-nilai yang terrulis di ijazah. Tentang kejujuran, ethos kerja, dan cara menghadapi seseorang saat sedang berinteraksi, misalnya. Ini tak pernah dinilai dalam pendidikan formal. Padahal mungkin ini lebih krusial dari nilai-nilai itu. Pada dasarnya sikap merupakan penggambaran dari ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang kita peroleh, jika ilmu seseorang manfaat niscaya akan tercermin ke dalam sikapnya sebagai sebauh pengaplikasian.

Sebenarnya mudah saja mengetahui sebaik apa sikap seseorang, yakni dengan melihat tigkah lakunya saat tengah berinteraksi dengan kita. Bagaimana cara ia berbicara, bagaimana cara ia menyampaikan pendapat, kurang lebih seperti itulah.

Maka dari itu rasanya kita harus sadar nilai bukankah prioritas utama dalam menentukan kecerdasan atau potensi sesorang. Melainkan bagaimana sikap sesorang dalam menghadapi sesuatu. Jika begini rasanya perubahan mental bukanlah cita-cita yang amat sulit untuk diwujudkan. (25 6. 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar