Kamis, 30 Juni 2016

Mendidik untuk Berpikir

Kebanyakan para siswa memilih soal pilihan ganda ketimbang soal essay ketika ditawari guru mereka, model soal saat ulangan nanti. Asumsi mereka, soal pilihan ganda dalam ulangan lebih mudah untuk menjawabnya ketimbang soal dalam bentuk essay. Seperti yang kita ketahui soal pilihan ganda berarti soal yang jawabannya sudah tersedia, kita tinggal memilih mana jawaban yang tepat. Sementara soal essay ialah soal yang menuntut kita mencari jawabannya sendiri yakni dengan cara menuliskan jawaban yang tepat pada jawaban soal essay tersebut.

Saya teringat ketika membaca sebuah artikel dalam koran Kompas (27/6) kemarin, seorang cendikiawan yang memperoleh penghargaan, Ignas Kleden mengatakan, pendidikan dalam bangsa ini tidak mengajarkan orang untuk berpikir, melainkan mengajarkan orang untuk tunduk pada kekuasaan. Kurang lebih seperti itu.

Kenapa bisa demikian? Itu pertanyaan pertama yang terlintas dikepala saya. Ia lantas menjelaskan dalam artikel tersebut, kebanyakan pendidikan kita mengajarkan tentang teori-teori. Sehingga kita hanya menghapal dan mengulang-ulang teori-teori yang di suguhkan itu. Tanpa pernah memikirkannya.

Secara tidak langsung kita telah di doktrin oleh teori-teori tersebut. Yang mana kita dengan mudah menerima teori-teori tersebut tanpa pernah mengkritisinya. Ini sama seperti ketika seorang suka menggunakan dalil-dalil kitab suci untuk menghakimi suatu masalah. Padahal ayat-ayat dalam kitab itu memiliki penafsiran. Dan penafsiran itu sendiri didapat ketika kita mengintegrasikan seluruh ayat yang ada, tidak hanya menggunakan sebagian dari ayat-ayat itu saja. Ini karena satu ayat, dalam buku Agus Mustofa di jelaskan penjelasannya di ayat yang lain, semacam untuk melengkapi kekurangannya.

Dalam artikel Kompas tersebut Ignas mengatakan, ketika seseorang hanya memiliki martil, ia akan cenderung memandang seluruhnya sebagai paku. Ini sama seperti seseorang yang selalu menggunakan teori-teori tanpa pernah berpikir atau membandingkan dengan berbagai konteks yang lain terlebih dahulu, sehingga terjadilah kesalahan tempat atau waktu dalam menggunakan alat berupa teori tadi.

Jika Pendidikan di negeri ini masih seperti itu, para pelajar enggan untuk berpikir, tidak mempunyai sifat yang kritis. Kemungkinan kita hanya akan melahirkan para penghapal-penghapal yang tekstual saja, dan mungkin juga, tidak akan pernah melahirkan ilmuan atau pemikir-pemikir yang melahirkan teori baru.

Saya sering menjumpai ketika ujian akan berlangsung. Banyak sekali mahasiswa di lorong-lorong kampus, di kelas, juga di tempat-tempat biasa mahasiswa nongkrong. Mereka tengah sibuk membaca materi ujian, yang mana ketika membaca mereka selalu mengulang-ulang setiap sub bab yang sekiranya sulit. Ini seolah-olah mereka benar-benar sedang menghapal bukan berpikir untuk memahami.

Secara tidak sadar metode ujian pilihan ganda telah mengajarkan kita untuk menghapal dan tunduk pada kekuasaan. Bagaimana mungkin kita di berikan pertanyaan dan disuruh menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pada jawaban-jawaban yang telah disediakan. Bukankah itu sebuah perampasan hak kebebasan berpikir. Kita, hanya dituntut untuk berpikir seputar jawaban mana yang lebih tepat. Sedikitpun tidak memberi kesempatan kita untuk mencari alternatif jawaban lain.

Berbeda ketika mereka dibiarkan untuk berargumen memberikan jawaban atas soal-soal itu berdasarkan pemahaman mereka. Meskipun kemungkinan dalam prakteknya jawaban atau argumen-argumen yang mereka kemukakan hanya akan mengocok perut alias mengada-ada saja. Tidak rasional. Namun yang tidak kita ketahui Adalah suatu kegiatan yang mana mereka telah berpikir untuk memberikan jawaban. Paling tidak mereka telah belajar memulai proses berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar