Selasa, 14 Juli 2015

Cerbung: Akibat Doa Kedua Orang Tua (1)

Sering Aku bertingkah diluar lingkaran biasa. Salah satunya adalah kisah ini. Sekitar empat tahun yang lalu kejadian ini berlangsung. Bolehlah sedikit kuceritakan pada kalian kawan sepotong kisah ini.

Awalnya hanyalah obrolan-obrolan antar teman yang tak pernah menemui titik keseriusan. Memang seperti itulah remaja usia tujuh belasan tahun. Bicaranya selalu ngelantur, nagalor ngidul tak pernah terencana. Tapi Aku tidak pernah tahu bahwa salah seorang dari kami menanggapi serius obrolan ngalor-ngidul tadi.

H-1 pehelatan akbar festival musik itu akan berlangsung. Apa yang terjadi? Salah seorang yang menganggap obrolan ngalor ngidul tadi serius, lantas Ia segera menemui kami bertiga. Menanyakan kapan kita akan berangkat ke festival musik yang berada diluar kota, amat-amat jauh kota itu bagi anak seusia kami yang tak pernah keluar kota. Tempat keliaran sehari-hari hanya seputar kampung, tak lebih. Artinya berkunjung ke kota besar adalah hal yang tak pernah terselip dalam otak kami. Pengalaman kami nol besar, perjalanan keluar kota adalah sesuatu yang abstrak.

Sore itu langit kelabu. Mendung mengepul kehitaman. Angin bertiup kencang dari segala penjuru menerbangkan dedaunan kering yang berserakan dihalaman. Tiga orang sudah bersiap didepan rumahku. Mereka sudah nekat berangkat. Mereka minta Aku ikut. Sebenarnya Aku agak gamang dengan keputusan mereka. Perasaan ku tak enak. Kalau boleh Aku memilih, aku pilih tidak ikut. Aku sedikit cemas akan keputusan ini. Apalagi cuaca sedang buruk, sebentar lagi hujan akan turun.

Mereka bertiga mendesakku. Aku menghela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Itu artinya dengan terpaksa aku ikut mereka.  Ya sudahlah, Tapi sebelum berangkat aku izin pada kedua orang tua terlebih dahulu. Mencium tangan lantas mengucap salam pada ibu bapakku. Meminta doa mereka. Sebenarnya inilah kawan yang akan banyak membantu dalam perjalanan nanti, izin dan minta doa pada mereka. Kisah sebenarnya baru akan dimulai. Disinilah kesulitan-kesulitan akan muncul satu persatu.

Perjalanan dari Lamongan ke Malang. Hanya berbekal nekat. Tak tahu arah lewat mana nantinya. Di saku juga hanya terselip uang 15 ribu rupiah. Aku masih ingat betul. Pun juga dengan tiga kawanku itu. Paling mentok uang saku hanya 20 ribu. Kami sudah nekat, tak banyak perhitungan. Juga lihat dandanan kami mirip gembel dipinggir jalan. Tapi anehnya kami sangat pede. Celana jins yang mulanya bagus-bagus saja dengan serta merta kami lubangi dengan silet. Tujuannya cuma satu agar terlihat nakal. Juga berandal. Nyatanya kami adalah siswa sekolahan di SMA kampung.

Kemudian kaos yang kami kenakan amat menakutkan. Semuanya bergambar makhluk dari dunia antah berantah. Ada orang yang tinggal tulang belulangnya terbakar di api neraka. Ada yang hanya tengkorak dengan mata berdarah yang tercongkel keluar. Macam-macam pokoknya dan amat mengerikan. Semua kaos bergambar sanak saudara Grandong. Itu pun katanya agar terkesan sangar. Semua bersepatu dekil dan kumal. Kiranya persiapan barang dan kostum sudah siap. Satu yang paling penting, ukulele. Kupegang erat seperti menggendog bayi.

Berkali-kali aku menyesal dalam batin. Menyesali keputusanku sendiri. Perjalanan pertama yang harus kami tempuh sekitar 19 kilometer dari rumah ke stasiun kereta. Angin semakin beriup kencang menghempas mukaku. Langit juga semakin gelap. Tak ada burung beterbangan lagi. Seolah telah ditelan kepulan mendung yang menghitam. Motor kami melaju di tengah cuaca buruk. Semoga tidak terjadi apa-apa, doaku dalam benak.©

#ToBeContinue

Tidak ada komentar:

Posting Komentar