Sabtu, 04 Juli 2015

Ramadhan (18): Kesalahan Orang Yang Gagal

Saya yakin ketika masih kecil banyak orang tua yang sering bertanya pada kita. "Adek kalau besar nanti ingin jadi apa? Jadi polisi kah, jadi guru kah, atau jadi dokter?" kiranya seperti itu pertanyaannya. Tapi sekecil itu, seumuran anak balita mungkin kita belum tahu apa itu polisi, apa itu guru, apa itu dokter.

Tapi seiring berjalannya waktu. hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Kita tahu apa itu polisi. Apa itu guru, beserta kawan-kawannya. Dan mulailah kita menentukan akan jadi apa kita nanti saat besar. Disitulah kita telah menentukan cita-cita. Meskipun tak sama dengan apa yang ditanyakan kebanyakan orang tua sewaktu kita kecil. Misalnya ada yang ingin jadi pemain sepak bola, musisi, atau pembalap mungkin. Itu kalo laki-laki. Lain lagi kalo perempuan, mungkin ingin jadi aktris, model, atau designer. Aneh-aneh pokoknya. Sesuai keinginan masing-masing.

Memang semuanya bisa bermimpi ingin jadi apa nanti. Tapi nyatanya dari sepuluh orang yang memiliki cita-cita yang sama mungkin hanya ada dua atau tiga orang yang mampu meraih cita-citanya. Kenapa bisa ya? Semuanya terletak pada proses pencapaiannya. Disinilah letak kegagalannya, mengapa kita tidak dapat meraih apa yang kita inginkan.

Jujur berkali-kali Saya mengalaminya. Disinilah Saya sering tertekuk lesu karena merasa mustahil akan mencapainya. Sehingga dengan berat hati Saya memilih melepaskan impian itu. Perasaan pesimis muncul menyelimuti. Disini saya sering membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang telah berhasil meraih impian. Menganggap dia lebih berbakatlah, lebih terfasilitasilah, ekonomi juga mendukunglah. Maka mustahil Saya yang tak punyai semua itu mampu meraih impian tersebut. Dan memilih putus harapan. Agaknya keadaan seperti inilah yang sering dilakukan oleh tujuh orang yang gagal tadi. Persis seperti yang sering saya alami.

Itulah kesalahan terbesar yang sering dialami orang ketika gagal meraih impiannya. Ketika Saya mengobrol dengan teman saya tepat sehari yang lalu. Saat puasa telah dapat tujuh belas hari. Secara tidak langsung saya mendapat jawaban itu. "Jangan pernah mendahului nasib boi!" kata Arai. Mirip seperti itulah.

Sering kita lupa bahwa Allah tidak pernah menguji hambanya melebihi kemampuan yang dimilikinya. Jika kita ditempatkan dalam keadaan yang amat sulit. Percayalah bahwa Allah tahu bahwa kamu punya kekuatan yang sepadan untuk melawan kesulitan tersebut. Hanya saja kita mendahulukan mengeluh dari pada berusaha. Lantas mana mungkin Allah akan peduli pada mimpi kita. Jika kita sendiri tak peduli dan tak berusaha dalam meraihnya. Ibaratnya begini siapa yang mau mengerjakan tugas sekolah kita, jika tidak kita sendiri yang mengerjakannya. Jika di tengah jalan mengalami kesulitan dalam pengerjaannya, bolehlah kita bertanya pada teman. Seperti itulah usaha. Satu lagi, jangan pernah malu akan apa yang kita punyai sekarang, sebab jika kita malu, maka secara tidak langsung kita tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Allah. Alangkah hinanya kita jika berlaku demikian.

Maka sedikitpun tidak ada alasan mengapa kita tidak bisa meraih impian lantaran terbatas keadaan. Itu sama artinya dengan kita sedang menyalahkan ketentuan Allah. Semoga kita bukan termasuk golongan yang demikian. Semoga Allah selalu membersamai orang yang senantiasa berbuat kebajikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar