Minggu, 21 Juni 2015

Empat Jarum Sialan

Ini hari adalah hari pembalasan. Dua hari yang lalu empat jarum yang ujungnya selancip sengatan lebah kulayangkan pada daerah tubuh kawanku. Jika bukan karena tuntutan perkuliahan mana tega Aku menyakiti kawanku sendiri.

Aku masih ingat betul ruang ujian nan pengap oleh rasa cemas. Seolah kepengapan bercampur aduk dengan kecemasan kemudian mencekatku dari segala penjuru. Napasku agak sesak sebab sebentar lagi giliranku menancapkan jarum suntik pada urat nadi kawanku sendiri. Aku agak gamang sebab ini pertama kalinya dalam hidupku. Kemungkinan-kemungkinan buruk mulai berdatangan di benakku.

Disini nyawa dipertaruhkan. Ini manusia bukan benda yang tak bernyawa macam sepeda motor. Batinku bergejolak. Bagaimana jika nanti jarum yang kutusukkan menambat tulang, pastinya ngilu bukan main serta merta menyiksa kawanku. Atau bagaimana jika jarum yang kutusukkan memotong saraf-saraf kecil yang bersandar di sekitar pantat, akibatnya kawanku akan mengalami kelumpuhan total. Kemudian Aku akan dituntut untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku barusan di kantor polisi. Sudah jelas kesalahanku tak tertampikkan lagi. Hingga akhirnya Aku akan mendekap di balik jeruji. Ya Tuhan semoga semua itu tidak terjadi.

Bagaimanapun Aku bersikeras menenangkan sikap. Sok santai seolah tak ada yang perlu dicemaskan. Aku tetap tidak bisa bersikap setenang air dalam gelas. Yang ada, pikiranku kalut. Entah kenapa rongga dada juga terasa sesak. Dan degup jantungku berpacu kencang senada dengan hentakan kaki kuda dalam sebuah pacuan. Tapi semua itu Aku bungkus rapat-rapat didalam ekspresi wajah nan datar.

Namaku telah di panggil Dosen penguji. Lantas aku berdiri di samping dipan berwarna hijau, khas sekali macam dipan-dipan di rumah sakit. Di depanku, seberang kasur duduklah Dosen penguji yang bermuka penuh tipu muslihat. Senyumnya sulit untuk diartikan. Kini Aku harus berhadapan dengan sesuatu yang betul-betul asing. Botol-botol rendah nan gendut berjejer memilukan di antara peralatan medis lainnya. Bak instrumen berkilat-kilat, di dalamnya teronggok empat jarum suntik yang mengerikan di ujung-ujungnya. Disitulah pusat gravitasi ketakutan terbesar berbalut resiko mengerikan.

Didepanku sudah terbaring pasrah kawanku. Seolah Ia menyerahkan seluruh hidupnya padaku. Pandangannya memliki arti: berhati-hatilah kawan ini soal nyawa pertaruhannya. Aku menatap dengan sangat bijaksana, berlagak seolah aku ini seorang ahli. Pekerjaan remeh-temah ini bukan apa-apa untukku. Jadi bermakna: tenanglah kawan, hidupmu akan baik-baik saja di tanganku.tenanglah kawan ya! Tapi yang sebenarnya, berkali-kali batinku menguatkan ragaku. Gamang kawan. Gamang bukan buatan.

Dua belasan kawanku lainnya mulai mengerubungi dipan tempat kawanku berbaring. Seperti sekumpulan semut mendatangi butiran gula. Ruang gerakku mulai menyempit. Mereka berdesak-desakan satu sama lain. Ingin tahu apa yang tengah kukerjakan. Mereka ricuh sekali seperti anak balita yang ditinggal pergi ibunya. Ruangan menjadi agak tegang untukku. Namun bagi mereka ini adalah hiburan yang rugi untuk disia-siakan. Itu terbukti dari tawa mereka yang lepas ketika tahu aku sedang gamang. Tremor sekujur tubuhku.

Titik-titik keringat mulai menyembul sebesar biji jagung di jidatku. Keringat dingin mulai kurasakan. Diam-diam telah keluar dari telapak tenganku. Tinggal hitungan detik. Kini jarum suntik persis berada satu senti diatas pantat. Sudutnya sembilan puluh derajat. Tegak lurus dengan pantat. Siap menukik tajam tanpa ampun. Kawan-kawanku berdecak kagum ini fase orgasme hiburan bagi mereka. Mereka semakin tak sabaran menunggu jarum menelisik masuk pantat.

Secera reflek jarum yang tajam tadi telah lunas masuk dengan kedalaman 3 cm di pantat kawanku. Anak tadi mengaduh kesakitan akibat ulah jarum sialan yang kupegang laksana pensil saja. Didepanku, aku tak kuasa melihat penderiataan yang kubuat sendiri. Tiba-tiba tubuh pasien yang tak lain adalah kawanku sendiri. Menjadi-jadi bergetar-getar kencang seperti getaran Truck yang mesinnya mulai dihidupkan. Aku mulai kalut dengan kejadian ini. Sedang dosen penguji yang duduk didepanku tak memperdulikanku. Malahan Ia sedang sibuk dengan smartphone digenggamannya. Pemandangan lainnya yang menjengkelkan adalah kawan-kawanku yang melingkari dipan tengah di sengat rasa senang tak kepalang. Mereka tertawa-tawa kencang sambil menahan sakit di perutnya dengan tangan. Ini bukan kejadian lucu bung. Titik keringat makin deras mengalir dari raut wajahku.
###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar