Sabtu, 13 Juni 2015

Sekali-kali Lihatlah Mereka

Dua hari yang lalu, Aku menggelengkan kepala. Tidak percaya dengan pemandangan yang nampak didepan. Aku melihat kejadian miris itu dengan mata kepala sendiri.

Malam, tepatnya pukul 09.15 Aku memutuskan untuk tetap pulang ke Lamongan. Ada agenda yang harus di kerjakan besoknya. Tentu saja itu tidak lain adalah urusan perkuliahan yang semakin hari semakin memilukan. Jika boleh ku ibaratkan kepala rasanya amat berat disesaki deadline yang tak kelar-kelar.

Seperti biasanya terminal Purabaya masih dipadati oleh hiruk pikuknya aktivitas puluhan bahkan ratusan orang. Dari pedagang asongan, pengamen, tukang ojek, sopir taxi, sopir bus, dan macam-macam profesi malam lainya yang tak kutahu. Mereka tumpah ruah di terminal itu.

Aku sedikit bergidik setiap berpapasan dengan orang-orang itu. Memang Mereka acuh. Tapi sapaan mereka padaku tak menunjukkan sikap bersahaja sedikitpun. Raut muka masa bodoh terlihat jelas melekat disana. Setiap kali berpapasan mereka pasti bertanya: Mau kemana? Iya cuma itu. Dengan lantang kujawab tak sopan pula dengan satu kata: Lamongan!

Akhirnya Bus jurusan Surabaya-Semarang berhasil kunaiki. Kondisinya jauh dari standart, pintu bagian depan tak ada, lantai bus itu kotor bukan main, dipenuhi wadah rokok yang tandas isinya. Aku duduk di kursi ketiga dari belakang dekat kaca Bus. Dari kaca transparan itu terlihat orang-orang hilir mudik di luar. Aroma khas Bus itu hampir saja membuatku muntah. Kepalaku pening dibuatnya.

Selama perjalanan, kepalaku semakin pening. Suara serak nan melenceng jauh dari tangga nada mayor atau minor berkali-kali dilantunkan pengemen bermuka garang-garang itu. Sedangkan orang berjaket kulit tebal. Memakai topi menutupi matanya. Dari tadi menghimpitku. Aku geram dengan mereka semua.

Saat kutengok jalanan diluar. Aku sudah sampai tujuan. Tiba-tiba Bus berhenti sejenak. Seorang wanita berbadan ibu-ibu naik sambil menggendong anak kecil yang  dibekap di dadanya. Anak itu tengah tertidur pulas di gendongan. Kira-kira anak itu sepantaran dengan adikku yang masih duduk di TK. Tiba-tiba beberapa saat kemudian wanita itu mengeluarkan alat musik sederhana yang tak asing di mataku. Terbuat dari kumpulan tutup botol yang di paku di sebilah kayu dua kilan panjangnya. Aku baru tahu sebenarnya bahwa wanita itu seorang pengamen.

Keras nian hidup ini. Kasihan anak kecil itu dimalam yang terlalu larut. Mau tidak mau Ia harus mengikuti ibunya mengamen. Dari bus ke bus. Sampai larut malam. Sampai dirasa cukup hasil ngamen itu untuk kebutuhannya.

Maka bisa kuambil pelajaran betapa beruntungnya kita dibanding anak itu. Tak sopan jika kita selalu menuntut kepada Tuhan tanpa pernah sekalipun bersyukur atas nikmat yang terlalu berlimpah yang telah kita miliki. Tak elok rasanya jika kita selalu mendongak ke atas, sekaki-kali lihatlah mereka yang hidupnya kurang beruntung. Agar kita sadar bahwa ada yang lebih susah hidupnya dari kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar