Kamis, 25 Juni 2015

Ramadhan (8): Aplikasi Nilai-nilai Islam

Dalam bulan Ramadhan ini umat Islam gencar-gencarnya beribadah. Memperbanyak aktivitas keagamaan. Yang sebelum Ramadhan jarang melaksanakan sholat berjamaah di Masjid, kini selama Ramadhan giat sekali berjamaah di Masjid. Yang sebelum Ramadhan enggan sekali membuka Al-Quran, kini selama Ramadhan gemar sekali membaca Al-Quran bahkan saking semangatnya hingga melantunkannya di speaker TOA yang terpancang tegak di atas masjid atau mushola.

Seperti itulah euforia Ramadhan jika dilihat dari sudut keagamaannya saja. Perubahan terjadi 180 derajad. Berbalik drastis. Yang awalanya malas bahkan enggan bersentuhan dengan masjid kini mereka hobi sekali bersentuhan dengan masjid.

Itu adalah berita yang cukup bahkan bisa dibilang sangat membanggakan. Ketika umat mulai cinta lagi terhadap aktivitas keagamaan seperti mengaji dan sholat tadi.

Tapi alangkah baiknya ketika aktivitas keagamaan itu terproyeksi ke dalam tingkah laku keseharian kita. Jadi yang kita lakukan bukanlah hanya khusyu' beribadah saja melainkan ada aplikasinya.

Seperti yang pernah disinggung oleh Muhammad Abduh ketika Ia berkelana ke Barat, lantas Ia berkata, "Dibarat saya menemukan Islam tanpa muslim, sedangkan Ditimur saya menemukan muslim tanpa Islam." apa arti dari perkataan beliau? Seperti yang telah dilakukan badan survei internasional untuk mengetahui seberapa islamkah suatu negara.  Survei yang dilakukan selama empat tahun sekali itu hasilnya sangat mencengangkan. Bagaimana tidak mencengangkan ketika tahu peringkat sepuluh besar dari hasil survei tersebut diraih oleh negara-negara sekuler (tidak mengenal Tuhan) alias atheis. Sedangkan Indonesia, yang seluruh dunia tahu bahwa negara Islam terbesar adalah Indonesia malah menduduki peringkat ke 140-an. Jauh di bawah Malaysia.

Apa yang salah? Atau bagaimana ini bisa terjadi? Karena dalam penilaian tersebut yang diutamakan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Bukan berdasar akumulasi penduduk beragama Islam.

Dibarat atau eropa yang mayoritas penduduknya sekuler. Nilai-nilai Islam di aplikasikan disana. Dilihat dari kebersihan lingkungan, tingkat kejahatan yang lebih rendah, juga tingkat korupsi. Di barat semua itu terlihat. Bukankah itu ajaran yang terkadung dalam Al-Quran, untuk mengutamakan kebajikan.

Sedangkan Ditimur terjadi sebaliknya. Penduduk mayoritas beragama Islam. Tapi tak terlihat aplikasi atau nilai-nilai Islam tertanam disana. Lihat saja lingkungan kumuh bisa ditemui dimana-mana di jalan raya, di taman, di bantaran sungai, di pantai. Sampah berserakan sesuka hati.

Lalu tingkat kejahatan. Pencurian, pembunuhan, tindak suap, judi, pelanggaran HAM, hingga korupsi. Semua itu bukan kabar asing lagi bagi telinga kita. Alangkah jahiliahnya kondisi seperti ini.

Apa yang sebenarnya salah? Kembali pada pernyataan di atas. Mungkin selama ini kita sering mengaji tanpa meresapi arti. Mengaji tanpa tahu makna sebenarnya. Melakukan ibadah tanpa tahu esensi sebenarnya dari ibadah yang kita lakukan. Atau kita tahu makna sebenarnya tapi enggan mengamalkan nilai-nilai Islam.

Maka alangkah baiknya ketika kita tahu maksud dari ibadah dan juga segan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Alangkah eloknya ketika kita hidup dengan bertaburan hal-hal baik disekitar kita. Menyandang Islam bukan hanya sebagai status, tapi lebih menekankan pada penyandangan nilai-nilai Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar