Rabu, 24 Juni 2015

Ramadhan (7): Perangai Padi

Saya masih ingat betul sore itu. Saat saya duduk berdua dengan salah seorang teman yang saya anggap sebagai guru saya. Meskipun umurnya sedikit lebih muda dari saya.

Usai sholat dhuhur seperti biasanya, selalu saya sempatkan untuk duduk sejenak. Hitung-hitung istirahat dari sibuknya aktivitas harian. Hari itu juga bertepatan dengan diadakannya pelatihan dasar kepemimpinan yang saya sendiri adalah salah satu pesertanya.

Jujur saja pelatihan yang diadakan kurang lebih dua hari satu malam itu terasa memuakkan. Kenapa memuakkan? Jujur saya jengkel dengan para pemateri-pemateri dalam pelatihan itu karena kebanyakan dari mereka terkesan amat congkak dengan ilmu yang disampaikan pada para peserta. Itu yang pertama, kedua, dengan tingkah lakunya yang sungguh tak pantas diperlihatkan didepan kami. Bayangkan mereka tak sungkan-sungkan mengangkat lalumenyandarkan kakinya di atas paha satunya macam kelakuan orang-orang tak beradab yang banyak ditemui cangkruk diwarung kopi. Bukankah itu terkesan tak elok dipandang mata.

Pernah sekali salah satu peserta bertanya pada pemateri yang terkesan congkak itu. Yang didapat bukan suatu penjelasan yang mencerahkan. Malahan sebaliknya Si penanya tadi kena damprat habis-habisan. Di caci maki tak keruan. Di ketawain lantas dibentak-bentak lantaran Si penanya tadi kurang mengerti apa yang barusan disampaikan. Bisa dibilang itu adalah sikap pembunuhan karakter, penciutan mental, juga pembunuhan rasa ingin tahu yang berujung kehilangan sifat kritis.

Saya jengkel tak terperi atas perbuatan mereka. Setelah saya ceritakan peristiwa barusan pada teman tadi, yang kuanggap guru itu. Diluar dugaanku, Saya sungguh malu luar biasa. Lantaran ketika itu Ia hanya tersenyum seraya mengangguk-anggukan kepalanya. Ternyata hanya ini jawabannya padaku.

"Satu buku tuntas kau baca, Kau akan mendongakkan kepala. Puluhan buku tuntas kau baca, Kau akan menurunkan kepala, gamang. Ratusan buku tuntas Kau baca, maka kau akan semakin merunduk. Seraya berkata Aku tidak tahu apa-apa."

Awalnya Saya kebingungan apa yang dimaksud kawan saya itu. Agaknya sampai sekarang saya masih belum tahu penjelasan sebenarnya atas perkataan tadi.

Beberapa hari yang lalu jauh setelah peristiwa diatas. Saya melihat siaran ulang talk show Andrea Hirata atas launchingnya Novel ke sembilannya yang berjudul Ayah di salah satu stasiaun TV. Karena saya terlambat menetahuinya lantas saya lihat talk show tersebut di you tube. Saya tercengang untuk kedua kalinya. Disalah satu sesi Andrea Hirata berkata demikian dengan raut muka yang syahdu. Juga suara yang lirih.

"Semakin Saya banyak belajar, maka saya semakin tidak tahu..."

Itu salah satu kata yang paling saya ingat dalam talk show tersebut. Dan secara tidak sadar, baru saya sadar bahwa penjelasan dari Andrea Hirata tadi memberi tambahan penjelasan atas jawaban kawanku diatas tadi.

Sungguh luar biasa. Gemuruh dalam dadaku bergejolak bak ombak yang berkali-kali mengempas karang dinding pinggiran pantai. Saya menggelengkan kepala tidak tahu. Kemudian menganggukkan kepala sekali dua. Seperti orang yang baru saja mendapat hikmah yang luar biasa. Atau seperti orang yang baru sadar bahwa judi itu peluang kemenangan lebih kecil dari peluang kekalahan.

Dari sini boleh kusimpulkan. Bahwa semakin tinggi ilmu seseorang maka ia akan semakin merasa bodoh. Semakin merasa bahwa dirinya masih belum apa-apa. Tidak salah jika orang-orang luar biasa ilmunya diibaratkan seperti padi yang matang. Semakin berisi maka ia semakin merunduk. Maka kesimpulannya, Pemateri tadi bukanlah berperangai mirip padi. Saya yakin kalian tahu apa yang saya maksud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar