Senin, 25 Mei 2015

Candu Menulis, Membuatku Sial Kali Ini

Sial, Sial nian nasibku kali ini. Kali ini menulis membuatku celaka. Sudah satu jam setengah lamanya aku tenggelam dalam candu menulis. Waktu serasa menguap tak terkira secepat kilat. Aku larut dalam buih-buih keriangan. Perasaan senang yang artinya terlalu menikmati rutinitas. Memang aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk menyisihkan beberapa saat dalam sehari untuk menulis. Melampiaskan hasratku yang berhamburan.

Rasanya tak terperikan jika ada satu hari saja yang terlewati tanpa pernah aku menulis. Jika itu kejadian, hati serasa mengganjal seolah mengidap hepatomegali. Sejenis penyakit pembesaran hati. Perasaan sangat berdosa secara tiba-tiba akan muncul tanpa pernah aku tahu penyebabnya. Lalu kemudian aku akan mengutuki diriku sendiri. Menyesal dalam-dalam. Lantas tidur pun tiada pernah merasa nyenyak. Jika bisa sesaat aku terseret lelap. Itu hanya kelihatannya saja. Padahal sebenarnya aku tengah di kejar-kejar makhluk buruk rupa dalam mimpiku ketika itu.

Entah candu apa yang sedang menyelimutiku. Padahal tak ada se-gram pun zat aditif yang menelisik di lambungku. Meskipun itu hanya semacam tar salah satu kandungan rokok. Tak ada terselip dalam lambungku. Tapi sejujurnya aku tak pernah sesali rasa canduku terhadap menulis. Malah Aku merasa bersyukur sekali. Semoga Tuhan selalu melimpahiku dengan kecanduan menulis. Itulah sepotong doa yang kulayangkan sehabis sholat. Bahkan setiap waktu.

Bagiku menulis adalah pekerjaan yang mulia. Selain melampiaskan hobi. Lebih-lebih lagi mampu mendapat pahala dari sebuah hobi. Menyampaikan informasi, berdakwah lewat tulisan, yaitu menyampaikan ilmu-ilmu yang masih melekat dalam benak untuk disampaikan pada orang yang berkenan membacanya.

Kurang lebih sudah sepuluh bulan lamanya hobi menulis ini mematut-matut diriku. Itu artinya dua bulan lagi genap berumur satu tahun candu menulisku ini. Aku bertingkah layaknya orang berpenyakit waham. Sejenis penyakit yang menyerang jiwa yaitu terlalu over dalam melakukan sesuatu. Mulai dari menulis di status facebook, berupa artikel, esai, puisi. Atau sepotong kisah konyol. Dan itu kulakukan setiap hari. Dan jika aku membaca ulang tulisan ku pada masa yang berlainan. Sudah pasti aku akan terpekik sendiri. Malu melihat rangkaian-rangkaian kata itu. Aku terlalu over confident terhadap tulisanku. Sehingga tak jarang aku mengirimnya pada berbagai media seperti majalah. Hasilnya pun nihil. Tak ada suatu majalah yang bersedia menerbitkannya. Bahkan konfirmasi penolakan lewat email pun tak ada. Aku jadi riskan memikirkannya. Seburuk itukah tulisanku?

Katakanlah Aku pengecut atau pecundang jika hanya karena penolakan lantas kuhentikan kegiatan paling kusuka ini. Aku sudah terlanjur mengenal kebaikan-kebaikan menulis. Menulis mampu membawa Islam menaklukkan Eropa pada pertengan abad lalu. Mendirikan pusat peradaban pendidikan terbasar Islam di Andalusia. Juga melahirkan filsuf-filsuf Islam yang keterlaluan pandainya. Tengok saja Ibnu Rusyd (averous), Al-Ghazali, Al-Farabi, dan raja diraja dokter Ibnu Sina (Avicenna). Semuanya adalah penulis yang selalu hidup jiwanya meskipun secara fisik sudah terkulai dalam timbunan tanah jasadnya. Sebab telah terpaku jiwanya, perasaannya, juga pemikirannya dalam tulisan-tulisan yang dibukukannya.

Rasanya aku sudah terlanjur dibius kemuliaan candu menulis. Mengenal, pemikir-pemikir kuno, idealis-idealis kontemporer, juga penulis tanah air yang tak kalah ketajamannya dalam mengikat makna. Aku terpesona keelokan ilmu yang berpendar dibalik rangkaian kata, yang tertangguhkan diantara huruf-huruf, yang menunggu pembaca bersedia memanennya. Syahdu sekali ilmu-ilmu itu. Tak mungkin bisa disejajarkan dengan rupiah, bahkan dolar sekalipun. Sudah pasti ilmu terlalu banyak nilainya.

Bagiku tempat curhat yang selalu berbaik hati adalah lampiran kertas-kertas kosong. Benda yang terelok didunia ini bagiku adalah lampiran kertas-kertas kosong itu. Akan bernilai melebihi emas jika tepat dalam mengisinya.

Candu menulis, membuatku sial kali ini. Kini aku harus rela tergopoh-gopoh menuju kamar mandi lantas mandi dengan prioritas basah. Itu semua karena aku melangkahi pukul 07.00 dimana aku sudah harus siap duduk takzim mendengarkan dosen. Berpakain rapi putih-putih, dengan spatu fantofel yang tersemir licin, memakai jam tangan ditangan sebelah kiri. Lantas di akhiri dengan potongan klimis di sisir ke salah satu sisi. Tapi nyatanya tidak. Saat ini aku tengah berlarian di koridor menuju kelas. Setelah kulihat jam yang menggantung di jidat dinding menunjuk pukul 07.13. Sudah dulu ya kawan aku hendak kuliah dulu! Dan aku akan tetap menulis. Jangan kuatir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar