Kamis, 28 Mei 2015

Rasa Takut

Takut salah, memang itu dua kata yang sering muncul ketika seseorang dihadapkan pada hal-hal baru yang terlihat ganjil. Belum pernah menyentuhnya. Bahkan melakukannya.

Ini tentang kejadian beberapa minggu yang lalu. Tepatnya dua minggu yang lalu. Seorang foreigner asal Pakistan datang ke kelas mengajar kelas bahasa inggris kami. Untuk kali pertama. Jadi bisa dibilang ini adalah hal baru.

Layaknya sebuah perhelatan akbar. Seluruh partisipant kelas bahasa inggris dituntut untuk on time, tepat waktu. Jam 01.00 tepat, apapun alasannya kami sudah harus duduk takzim dikursi masing-masing. Seolah seperti perintah keramat, Aku takjub tak ada seorang pun yang datang melebihi jam satu. Padahal biasanya kami datang seenaknya sendiri, tak tahu malu meskipun telat lebih dari seperempat jam masih saja nyelonong masuk. Seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Itulah kawan pertanda penyakit jiwa, tidak sadar bahwa telah berbuat salah.

Ruangan kelas sejenak lengang. Duapuluhan peserta yang duduk membentuk formasi U. Sibuk dengan persiapannya sendiri. Muka-muka bertabur rasa cemas, khawatir, juga was-was tersirat di ruang ini. Beberapa sibuk dengan tumpukan buku tebal yang berada didepan nya masing-masing. Beberapa lainnya sibuk bertanya pada temannya untuk memastikan apakah sudah benar atau belum. Iya, nanti satu-persatu peserta wajib bertanya dengan bahasa inggris pada foreigner asal Pakistan itu.

Jantungku berdegup semakin kencang ketika jam yang tergantung di dinding sebentarlagi memeluk angka satu. Tak bisa dipungkiri aku pun merasa cemas. Bagaimanapun juga nantinya kami harus bertanya pada orang Pakistan yang sekalipun belum pernah Aku berjumpa dengannya. Kecemasan ini tak kunjung sirna meskipun berkali-kali kucoba menepisnya dengan menghela napas.

Beberapa saat kemudian daun pintu terbuka. Tiga pasang kaki melangkah bergantiab perlahan. Tidak salah lagi itulah orang Pakistan yang berhasil menciutkan mental kami. Dari mukanya sudah bisa kukenali bahwa Ia bukanlah penduduk suku jawa, bahkan dari Sabang sampai Merauke tak pernah kujumpai raut muka seperti itu. Kesimpulannya ialah dia bukan penduduk bangsa satelit ini.

Jantan sekali dandannya. Sepatu cokelat alas tebal. Celana jeans biru model rock n roll. Kemeja hitam lengan panjang. Dan raut muka bule, gaya rambut yang jauh kriteria alay. Cukup potongan tipis dua tiga centimeteran. Gila, para perempuan yang tadinya beraut muka seperti orang kena kutukan. Dalam hitungan beberapa detik raut muka menyedihkan itu longsor. Aku yakin mereka berbunga-bunga hatinya melihat lelaki macho, macam orang Pakistan itu.

Tugasnya disini adalah mempresentasikan negaranya dengan bahasa Inggris. Ia lancar sekali berbahasa inggris, menerangkan pada kami tentang lika-liku negaranya. Aku hanya tafakur seolah mengerti betul apa yang dia omongkan. Padahal blas. Sesekali aku menganggukkan kepala, biar dibilang mafhum.

Akhirnya tibalah dipenghujung acara. Mau tidak mau kami harus berranya padanya. Seluruh peserta saling tatap satu sama lian. Yang mengandung makna tersirat: ayolah kau duluan kawan! Inilah kawan hal baru. Belum pernah sekali dalam hidup kami bercakap-cakap dengan orang asing.

Berat sekali bibir kami melontarkan kata. Rasa takut seakan mengunci mati lubang mulut kami. Aku bergidik ketika tak seorangpun berani mengacungkan tangan. Mereka saling tatap tak bertanggung jawab berlagak bodoh. Inilah kawan rasa takut yang selalu menjadi tembok penghalang bagi orang-orang yang labil. Sudah dulu kawan aku tak bisa melanjutkan cerita ini. Hari-hari ini deadline seperti mengejar dibelakangku sambil membawa golok.

Rasa takut kawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar