Minggu, 31 Mei 2015

Aku dan Beberapa Pasang Kaki Lainnya

Akan kuceritakan secuil tentang asal muasalku yang tidak begitu penting kawan. Tentang suatu kawasan yang tidak terlalu diperhatikan dalam suatu peradaban. Disanalah aku pertamakali menjejakkan kaki kecilku. Bersama kaki-kaki kecil lainnya yang kini telah raib. Mereka satu persatu meninggalkan kampung. Rasanya waktulah yang telah memaksa.

Tidak ada yang istimewa ditempat itu kawan. Bahkan warung kopi dari jaman penjajahan hingga kini hanya ada satu yang masih bercokol disana. Jika saja warung kopi itu bisa bercerita Ia mungkin akan menjadi warung kopi bermulut besar. Karena sebab musabab berumur panjang. Seperti para orang-orang tua yang kita temui kawan, mereka lebih banyak beromong besar karena mengawali hidup lebih dulu dibanding kita.

Kampungku memang bisa dibilang pelosok. Lokasinya pun rawan akan perkelahian. Itulah yang sering terjadi jika bernasib hidup diperbatasan, akan sering terjadi selisih paham lantaran perbedaan adat serta budaya. Tidak satu dua kali kampungku terjadi baku hantam dengan kampung lain. Masalahnya sepele kawan, jika tidak karena kompetisi bola antar kampung, ya karena orkes musik dangdut. salah senggol dianggap menantang. Riskan memang!

Tapi bagaimanapun juga itulah kampungku. Kampung yang berbentuk kunci pintu jika dilihat dari google map. Menaruh banyak kenangan didalamnya. Kenangan tentang euforia bermain bola di musim hujan, hingga akhirnya pulang dengan tubuh belepotan berselimut lumpur, tapi lihatlah kami tak pernah sedikitpun jijik akan bau lumpur itu. Malahan kami masih sempat tertawa riang sambil lempar melempar lumpur satu sama lain. Syahdu sekali pamandangan kali itu. Begitulah aktivitas setiap sore.

Malam hari dilanjutkan dengan menyeduh secangkir kopi di warung kopi yang baru saja kuceritakan tadi kawan. Itulah pelepas dahaga untuk hari yang selalu terasa melelahkan. Percakapan-percakapan nan tak tertangguhkan tiada henti-hentinya mengalir. Malah semakin lama semakin deras. Itu bukanlah percakapan ilmiah yang sering kalian lakukan di tembok-tembok universitas, tentang suatu teori, tentang konsep ekonomi, atau tentang hal-hal rumit lainnya. Tapi itu hanyalah percakapan sepele kawan. Jika tidak tentang babi hutan yang merusak tanduran warga sian tadi. Ya tentang birokrasi kampung yang semakin bobrok karena ketuanya memakan uang pembangunan. Tiada habisnya, dua topik yang sangat melelahkan.

Kepulan asap rokok serta aroma kopi berpaduan dengan nada-nada lucu petikan gitar. Iya, bernyanyi adalah cara terbaik untuk memutus rantai percakapan yang tiada hentinya itu. Lihai sekali kawan-kawanku dalam bermain musik, tak ada musik cengeng yang mengalun diantara aroma seduhan kopi malam itu. Rasanya tak ingin malam terlalu cepat beringsut ditelan pagi. Kami tak mau itu cepat terjadi.

Sudah kawan Aku tidak mau memperpanjang cerita tak penting buatmu itu. Tapi setidaknya disinilah kami mulai merajut mimpi. Mengais-ngais harapan meskipun tak pernah jelas adanya. Mencoba segala peruntungan meskipun seringkali kami menuai kebuntungan. Kini kami, aku dan beberapa pasang kaki lainnya telah tunggang langgang meninggalkan kampung nan permai diselimuti hamparan sawah dan kali-kali kecil mengalir di pinggiran kampung. Setiap pagi kicaun burung pemakan biji selalu terdengar di sela pepohonan. Mencuri makanan dari sawah warga. Aku tak akan lupa itu. Aku yakin mereka juga.

Waktu telah memaksa kami untuk beranjak pergi. Menjemput mimpi yang kami sendiri tak tahu pasti dimana adanya. Biarlah kami sudah terbiasa berteman dengan ketidakpastian dalam mengais mimpi. Semoga ada satu kesempatan dimana kita bisa menjejakkan kaki bersama-sama ditempat pertama kita bermula.

Aku dan kawan-kawanku, para pesakitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar